Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Kejujuran yang Tergerus di Balik Semangkuk Bakso

Kasus penjual bakso yang menggunakan daging babi tanpa mencantumkan keterangan jelas kepada pembeli kembali mencuat ke publik. Peristiwa tersebut terjadi di Yogyakarta. Peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran dalam dunia kuliner, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tindakan semacam ini jelas melukai sensitivitas keagamaan dan menyalahi prinsip dasar etika berdagang. Seorang pedagang semestinya memahami bahwa makanan bukan hanya soal rasa dan keuntungan, tetapi juga menyangkut keyakinan, kehalalan, dan kejujuran. Ketika bahan baku yang digunakan tidak diungkapkan secara terbuka, terutama dalam kasus yang menyentuh ranah agama, maka yang terjadi bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan bentuk penipuan. Pembeli memiliki hak untuk mengetahui apa yang mereka konsumsi dan memilih sesuai keyakinan mereka. Pembeli bisa mengajukan gugatan agar kejadian tersebut tidak terulang ditempat lain dan di masa mendatang....

Tamparan di Banten: Ketika Guru Dihukum karena Mendidik

Ada sebuah berita yang menggelitik sekaligus menyedihkan: Seorang Kepala Sekolah SMA di Banten menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah . Tak lama, ia justru dinonaktifkan dan dilaporkan ke polisi . Ironisnya, siswa-siswa lain malah mogok belajar , seolah tamparan itu lebih salah daripada perilaku merokok di sekolah. Pertanyaan pun muncul: Akan dibawa ke mana arah dunia pendidikan kita? Dulu: Tamparan yang Mendidik, Kini: Tamparan yang Menghukum Dulu, ketika seorang murid ditampar guru karena melanggar aturan, orang tua akan berkata, “Pantas kamu ditampar, Nak. Kamu memang salah.” Guru dan orang tua berdiri di barisan yang sama — barisan pendidik . Hukuman fisik memang bukan metode ideal, tetapi waktu itu, niat mendidik lebih dihargai daripada bentuk tindakan. Kini, segalanya terbalik. Guru dituduh, siswa dilindungi. Pendidik diadili, pelanggar dibela. Hukum dan publik seakan lupa bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat menempa karakt...

Mengapa Kepala Daerah Harus Taat pada Presiden

Dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut prinsip negara kesatuan, sudah semestinya kepala daerah menjalankan kebijakan nasional yang digariskan oleh presiden. Sayangnya, dalam praktiknya, kita sering menjumpai kepala daerah yang tampak tidak sejalan, bahkan menolak kebijakan pusat. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan disharmoni antarlevel pemerintahan, tetapi juga dapat menghambat pencapaian tujuan nasional. Otonomi daerah memang memberikan kewenangan yang cukup besar kepada kepala daerah. Namun, otonomi bukanlah bentuk kemerdekaan absolut. Kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjalankan program-program strategis nasional. Ketika kepala daerah menolak arahan pusat dengan dalih kemandirian, sesungguhnya mereka sedang melanggar amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya itu, ketidaktaatan kepala daerah terhadap presiden sering kali dipicu oleh motif politik, teruta...