Tamparan di Banten: Ketika Guru Dihukum karena Mendidik

Ada sebuah berita yang menggelitik sekaligus menyedihkan:

Seorang Kepala Sekolah SMA di Banten menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Tak lama, ia justru dinonaktifkan dan dilaporkan ke polisi. Ironisnya, siswa-siswa lain malah mogok belajar, seolah tamparan itu lebih salah daripada perilaku merokok di sekolah.

Pertanyaan pun muncul: Akan dibawa ke mana arah dunia pendidikan kita?

Dulu: Tamparan yang Mendidik, Kini: Tamparan yang Menghukum

Dulu, ketika seorang murid ditampar guru karena melanggar aturan, orang tua akan berkata,

“Pantas kamu ditampar, Nak. Kamu memang salah.”

Guru dan orang tua berdiri di barisan yang sama — barisan pendidik. Hukuman fisik memang bukan metode ideal, tetapi waktu itu, niat mendidik lebih dihargai daripada bentuk tindakan.

Kini, segalanya terbalik.
Guru dituduh, siswa dilindungi.
Pendidik diadili, pelanggar dibela.
Hukum dan publik seakan lupa bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat menempa karakter.

Menegakkan Aturan, Justru Dituding Melanggar

Merokok di lingkungan sekolah bukan pelanggaran kecil. Itu bentuk pembangkangan terhadap tata tertib dan nilai moral yang diajarkan di sekolah. Ketika seorang Kepala Sekolah menegur — bahkan dengan cara yang keliru — seharusnya masalahnya tidak berhenti di laporan polisi, tetapi diselesaikan melalui pembinaan dan refleksi bersama.

Yang kita saksikan sekarang adalah paradoks:
Guru yang berusaha menegakkan disiplin malah harus duduk di kursi pesakitan.
Lalu, siapa yang masih berani menegur jika setiap tindakan koreksi berujung kriminalisasi?

Di Mana PGRI dan Dinas Pendidikan?

Ketika masalah seperti ini mencuat, PGRI dan Dinas Pendidikan seharusnya menjadi pihak pertama yang turun tangan — bukan sekadar jadi komentator.

  • PGRI mestinya hadir untuk memberi perlindungan hukum dan moral bagi guru, sekaligus mengingatkan batas-batas etika profesi.
  • Dinas Pendidikan wajib hadir di tengah, menjadi penyeimbang antara aturan dan kemanusiaan, serta memastikan ada SOP pendisiplinan non-kekerasan yang jelas dan mudah diterapkan.

Guru bukan malaikat, tapi juga bukan penjahat.
Mereka manusia yang berjuang di garis depan pendidikan, di tengah sistem yang semakin membingungkan antara hak anak dan otoritas pendidik.

Jika Siswa Tak Mau Dididik, Pulangkan ke Rumah

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama — bukan hanya sekolah. Jika seorang siswa merasa tidak bisa menerima proses pendisiplinan di sekolah, mungkin sudah saatnya orang tua mengambil alih peran itu di rumah.

Sekolah bukan tempat bermain, melainkan tempat membentuk karakter.
Jika setiap bentuk teguran dianggap kekerasan, bagaimana guru bisa mendidik?
Apakah kita ingin melahirkan generasi yang pandai secara akademis tapi rapuh secara moral?

Menegakkan Disiplin Tanpa Menyakitkan

Tentu saja, kekerasan fisik bukan solusi. Tapi ketegasan dan kewibawaan guru juga tidak boleh mati hanya karena takut dilaporkan.
Yang kita butuhkan adalah pendidikan yang tegas, manusiawi, dan bermartabat.
Guru perlu dibekali pelatihan manajemen emosi dan komunikasi efektif, sementara orang tua perlu disadarkan bahwa menegur bukan berarti menyakiti.

Jangan Biarkan Guru Takut Mendidik

Kasus di Banten adalah cermin buram sistem pendidikan kita.
Guru kini berjalan di atas tali tipis antara “mendidik dengan tegas” dan “dilaporkan karena kekerasan.”
Jika setiap guru takut menegur, maka sekolah akan kehilangan rohnya sebagai tempat pendidikan, bukan sekadar ruang belajar.

Mari kita ingat:

Anak dididik bukan untuk disenangkan, tapi untuk disiapkan menghadapi hidup.

Dan untuk itu, guru butuh perlindungan, bukan hukuman.

Postingan populer dari blog ini

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo