Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Antara Anarkis, Dunia Maya, dan Jariyah Digital

Saat ini dunia usaha nyata tengah menghadapi banyak kendala. Bukan hanya tekanan ekonomi global, tetapi juga situasi sosial dalam negeri yang kadang memanas. Demo yang berujung anarkis, misalnya, jelas menimbulkan dampak luas: roda usaha terganggu, pelaku bisnis terpaksa menutup pintu, dan para pekerja kehilangan nafkah. Dunia ril menjadi rapuh, mudah terguncang oleh gejolak di jalanan. Sebaliknya, dunia maya justru terus tumbuh. Platform seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok semakin merajai ruang publik. Orang-orang kini lebih sering “berjualan gagasan” lewat kata-kata, gambar, dan video. Namun, di balik pertumbuhan ini, ada sisi lain yang mengkhawatirkan: banyak yang hanya mengumbar ujaran tanpa verifikasi, dengan alasan “nanti toh bisa diklarifikasi.” Inilah wajah baru yang bisa disebut sebagai jariyah digital . Dalam Islam, dikenal istilah amal jariyah—kebaikan yang terus mengalir pahalanya meski pelakunya sudah tiada. Namun, di era digital, amal jariyah itu bisa bermuk...

Belajar dari Sejarah, Mengapa Kita Bisa Dijajah Begitu Lama

Sejarah mencatat, Indonesia dijajah Belanda selama lebih dari 300 tahun. Angka ini sering membuat kita bertanya-tanya: bagaimana mungkin sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar, waktu itu dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki pasukan kuat, bisa dikuasai begitu lama oleh bangsa asing yang jumlahnya jauh lebih sedikit? Jawaban itu tidak lain karena kelemahan dari dalam diri bangsa kita sendiri. Bukan karena kita tidak berani, melainkan karena kita mudah terprovokasi, gampang dipecah belah, dan lebih mengedepankan ego masing-masing daripada persatuan. Belanda berhasil memainkan politik devide et impera , memanfaatkan konflik internal antar-kerajaan, antar-pemimpin, bahkan antar-saudara sebangsa, hingga akhirnya kita tidak pernah benar-benar bersatu melawan penjajahan. Refleksi ini kembali terasa relevan ketika melihat kondisi bangsa hari ini. Demo yang semestinya menjadi sarana menyuarakan aspirasi, sering berubah menjadi kerusuhan karena provokasi dan kepentingan tertentu. Lag...

Ketika Influencer Bungkam dan Demo Menelan Korban

Fenomena influencer hari ini semakin gamblang: yang diangkat hanyalah isu yang menguntungkan dirinya. Selama bisa fyp , menambah followers , meningkatkan likes dan jumlah tayangan, maka isu itu akan jadi konten. Namun, jika tidak ada nilai jual, meski menyangkut nyawa manusia, akan dibiarkan sunyi.  Inilah wajah baru dunia maya: kepedulian diukur dengan algoritma, bukan dengan nurani. Demo belakangan di Makassar yang menelan korban nyawa, nyaris tak terdengar gaungnya. Mengapa? Karena korban bukan ojol, bukan pula polisi yang bisa “dijadikan bahan dramatisasi.” Tragisnya, yang muncul justru komentar kejam: “kenapa juga malam masih kerja?” Naudzubillah.  Demo memang hak rakyat, tapi harus dijalankan dengan tertib dan damai. Begitu berubah menjadi anarkis dan menimbulkan korban, maka pelakunya harus bertanggung jawab. Nyawa yang hilang bukan sekadar angka. Itu adalah manusia dengan keluarga, dengan harapan, dengan masa depan. Dan hukum kehidupan berlaku: apa pun keburukan ya...