Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Donor Darah, Kecil bagi Kita, Besar bagi Sesama

Sabtu kemarin saya kembali mengikuti donor darah di PMI Kota Bogor. Rutinitas sederhana ini selalu memberi rasa syukur dan lega setelah menjalaninya. Diawali dengan sarapan pagi, mengantar anak ke sekolah, di SMAKBO, lalu mampir sebentar olahraga jalan kaki di Lapangan Kresna, semuanya terasa seperti rangkaian persiapan kecil sebelum memberikan setetes manfaat bagi orang lain. Sesampainya di PMI, layanan sudah dibuka tepat pukul delapan pagi. Prosesnya kini semakin mudah—cukup mengisi data di komputer, menjawab beberapa pertanyaan kesehatan, lalu mencetak formulir. Nomor antrian saya keenam, dan tidak butuh waktu lama sebelum dipanggil untuk diperiksa dokter. Hasilnya cukup baik: tekanan darah 130/90, Hb 13,8, dengan berat badan 80,5 kilogram. Setelah dinyatakan layak, saya masuk ke ruang pengambilan darah, dan 350 cc darah pun diambil. Bagi saya pribadi, donor darah bukan hanya soal kesehatan, meski jelas ada manfaatnya bagi tubuh pendonor. Lebih dari itu, ada nilai kemanusiaan yang...

Permasalahan Pendampingan Koperasi

Pendampingan rutin dari dinas koperasi pemerintah daerah memang penting, tetapi masih adanya permasalahan di koperasi menunjukkan bahwa pendampingan tersebut sering kali belum efektif atau tidak menyentuh akar masalah. Beberapa penyebabnya antara lain: 1. Pendampingan Bersifat Administratif Saja Banyak dinas hanya memeriksa kelengkapan dokumen atau laporan secara formal, tanpa menyentuh aspek manajemen risiko, tata kelola, atau keuangan secara mendalam. 2. Kurangnya Sumber Daya dan Kompetensi di Dinas Beberapa dinas koperasi memiliki keterbatasan jumlah staf atau staf yang belum memiliki spesialisasi dalam audit keuangan, akuntansi, atau manajemen koperasi. 3. Minimnya Pengawasan dan Tindak Lanjut Pendampingan tanpa pengawasan yang tegas dan tindak lanjut atas temuan hanya akan menjadi formalitas. Pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti bisa menjadi kebiasaan buruk yang berulang. 4. Koperasi Tidak Terbuka atau Manipulatif Pengurus koperasi bisa saja menyajikan data yang manipula...

Penguatan Pengawasan Koperasi: Urgensi dan Strategi Nyata

Koperasi, sebagai sokoguru ekonomi kerakyatan, kini menghadapi tantangan serius: mulai dari gagal bayar, pengelolaan tidak transparan, hingga hilangnya kepercayaan anggota. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah pendampingan rutin dari dinas koperasi pemerintah daerah. Pertanyaannya: mengapa pengawasan yang sudah berjalan belum mampu mencegah keruntuhan sebagian koperasi? Masalahnya bukan pada ada atau tidaknya pendampingan, melainkan pada kualitas, cakupan, dan ketegasan pengawasan itu sendiri. Banyak pendampingan hanya bersifat administratif dan formalitas, tanpa menyentuh aspek keuangan, manajerial, dan risiko. Lebih parah lagi, masih banyak koperasi yang tidak diaudit oleh pihak independen dan profesional, sehingga potensi penyimpangan tak terdeteksi sejak dini. Untuk itu, pengawasan koperasi harus diperkuat secara sistematis. Pertama, dinas koperasi perlu meningkatkan kompetensi SDM pengawas melalui pelatihan dan sertifikasi. Kedua, audit independen wajib diberlakukan untuk kope...

Rasa Aman yang Memudar di Tengah Gejolak Sosial

Dalam teori hierarki kebutuhan dasar yang diperkenalkan Abraham Maslow, terdapat tahapan yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Setelah kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, dan istirahat terpenuhi, kebutuhan berikutnya yang tidak kalah penting adalah rasa aman. Rasa aman inilah yang menjadi pondasi bagi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan dengan tenang, membangun hubungan sosial, dan menumbuhkan rasa percaya pada lingkungannya. Namun, ketika rasa aman terganggu, seluruh struktur kebutuhan manusia seakan goyah. Peristiwa demonstrasi yang berujung anarkis dan penjarahan kemarin menjadi contoh nyata bagaimana satu peristiwa sosial dapat meruntuhkan rasa aman masyarakat. Korban langsung tentu merasakan luka, kerugian, bahkan trauma. Tetapi dampaknya tidak berhenti di situ. Mereka yang tidak menjadi korban langsung pun ikut merasakan bayangan ketakutan. Ada perasaan cemas yang mengendap di benak banyak orang: hari ini mungkin rumah atau toko ora...

Bekerja Adalah Jihad, Bukan Alasan untuk Dihakimi

Belakangan ada cerita tentang seseorang yang dikeroyok hanya karena diteriaki oleh orang-orang. Teriakan-teriakan yang cukup untuk memicu massa hingga melakukan kekerasan. Padahal, belum tentu benar yang diteriakan tersebut. Bisa saja keliru, namun orang tersebut langsung dihakimi massa. Padahal orang tersebut sedang lewat untuk bekerja mencari nafkah? Bekerja, di mana pun tempatnya dan apa pun statusnya, adalah bagian dari jihad. Jihad bukan semata-mata pertempuran, tetapi juga perjuangan untuk menafkahi diri sendiri, orang tua, dan keluarga. Setiap orang yang bekerja dengan cara halal sejatinya sedang menjalankan ibadah mulia. Mengeroyok atau merendahkan seseorang hanya karena pekerjaannya adalah bentuk kesombongan. Tidak ada pekerjaan halal yang hina, dan tidak ada alasan yang membenarkan tindak main hakim sendiri. Yang harus kita lawan justru mental meremehkan orang lain, apalagi sampai memicu kekerasan. Masyarakat perlu diingatkan kembali bahwa kehormatan seseorang bukan ditent...

Menjembatani Kesenjangan Generasi di Kantor Pemerintahan

Masuknya generasi Z sebagai aparatur sipil negara di instansi pemerintahan membawa dinamika baru yang tak bisa dihindari. Mereka datang dengan semangat tinggi, kemampuan adaptasi digital yang mumpuni, serta harapan terhadap sistem kerja yang lebih adil dan terbuka. Namun di balik semangat itu, muncul pula gesekan yang bisa menimbulkan kecanggungan antarpegawai lintas generasi. Salah satu isu yang kerap muncul adalah perasaan ketimpangan antara pegawai muda dan senior dalam hal beban kerja dan penghasilan. Banyak pegawai muda merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan jauh lebih menyita waktu dan energi dibandingkan rekan-rekan senior mereka, tetapi penghasilan yang diterima justru jauh lebih rendah. Akibatnya, muncul kecemburuan yang menggerus rasa hormat, melemahkan kerja sama, dan mengganggu iklim kerja di kantor. Padahal, jika ditilik lebih dalam, perbedaan itu tidak selalu mencerminkan ketidakadilan. Sistem penggajian di pemerintahan bersifat struktural dan berbasis pada masa ker...

Rasa Aman, Privilege, dan Ancaman Fragmentasi Kepercayaan Sosial

Kebutuhan akan rasa aman, sebagaimana diungkapkan Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan dasar, adalah fondasi penting dalam kehidupan manusia. Tanpa rasa aman, manusia akan sulit bergerak ke kebutuhan lain seperti relasi sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Namun, rasa aman itu kini tengah diuji. Demo yang berujung anarkis dan penjarahan beberapa waktu lalu menimbulkan luka kolektif. Tidak hanya kerugian materiil dan trauma bagi korban langsung, tetapi juga rasa waswas di kalangan masyarakat luas. Sebab dalam benak banyak orang muncul pertanyaan sederhana: hari ini toko orang lain yang dijarah, apakah besok giliran rumah saya? Kekhawatiran semacam ini tidak hanya memudarkan rasa tenang, tetapi juga mengikis kepercayaan sosial. Hal yang menimbulkan ironi lebih jauh adalah ketika pejabat negara—yang seharusnya memiliki lapisan keamanan lebih kuat karena akses terhadap aparat—ikut menjadi korban penjarahan. Kondisi ini terasa aneh dan sekaligus menimbulkan pertanyaan besa...

Antara Ampunan dan Karma

Dalam ajaran Islam, dosa sebesar apa pun akan diampuni oleh Allah, selama hamba-Nya benar-benar bertaubat. Inilah letak keagungan rahmat Allah, yang tidak pernah menutup pintu kembali bagi manusia. Namun, sayangnya justru di sinilah letak persoalan: banyak orang salah paham, lalu merasa ringan berbuat dosa karena beranggapan “toh nanti Allah Maha Pengampun.” Padahal, ampunan itu bukan tanpa syarat. Taubat yang sesungguhnya menuntut penyesalan, perbaikan diri, dan pengembalian hak jika menyangkut orang lain. Tanpa itu, pengampunan hanyalah angan-angan. Berbeda dengan konsep karma yang dikenal dalam ajaran lain, setiap perbuatan buruk pasti berbalik pada diri pelakunya, cepat atau lambat. Konsep ini menimbulkan rasa hati-hati, karena orang sadar bahwa kejahatan sekecil apa pun akan ada akibatnya. Dalam Islam pun sebenarnya ada prinsip serupa: siapa berbuat baik, kebaikan itu untuk dirinya; siapa berbuat buruk, keburukan itu kembali kepadanya. Bedanya, Islam menambahkan pintu rahmat dan ...

Antara Anarkis, Dunia Maya, dan Jariyah Digital

Saat ini dunia usaha nyata tengah menghadapi banyak kendala. Bukan hanya tekanan ekonomi global, tetapi juga situasi sosial dalam negeri yang kadang memanas. Demo yang berujung anarkis, misalnya, jelas menimbulkan dampak luas: roda usaha terganggu, pelaku bisnis terpaksa menutup pintu, dan para pekerja kehilangan nafkah. Dunia ril menjadi rapuh, mudah terguncang oleh gejolak di jalanan. Sebaliknya, dunia maya justru terus tumbuh. Platform seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok semakin merajai ruang publik. Orang-orang kini lebih sering “berjualan gagasan” lewat kata-kata, gambar, dan video. Namun, di balik pertumbuhan ini, ada sisi lain yang mengkhawatirkan: banyak yang hanya mengumbar ujaran tanpa verifikasi, dengan alasan “nanti toh bisa diklarifikasi.” Inilah wajah baru yang bisa disebut sebagai jariyah digital . Dalam Islam, dikenal istilah amal jariyah—kebaikan yang terus mengalir pahalanya meski pelakunya sudah tiada. Namun, di era digital, amal jariyah itu bisa bermuk...

Belajar dari Sejarah, Mengapa Kita Bisa Dijajah Begitu Lama

Sejarah mencatat, Indonesia dijajah Belanda selama lebih dari 300 tahun. Angka ini sering membuat kita bertanya-tanya: bagaimana mungkin sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar, waktu itu dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki pasukan kuat, bisa dikuasai begitu lama oleh bangsa asing yang jumlahnya jauh lebih sedikit? Jawaban itu tidak lain karena kelemahan dari dalam diri bangsa kita sendiri. Bukan karena kita tidak berani, melainkan karena kita mudah terprovokasi, gampang dipecah belah, dan lebih mengedepankan ego masing-masing daripada persatuan. Belanda berhasil memainkan politik devide et impera , memanfaatkan konflik internal antar-kerajaan, antar-pemimpin, bahkan antar-saudara sebangsa, hingga akhirnya kita tidak pernah benar-benar bersatu melawan penjajahan. Refleksi ini kembali terasa relevan ketika melihat kondisi bangsa hari ini. Demo yang semestinya menjadi sarana menyuarakan aspirasi, sering berubah menjadi kerusuhan karena provokasi dan kepentingan tertentu. Lag...

Ketika Influencer Bungkam dan Demo Menelan Korban

Fenomena influencer hari ini semakin gamblang: yang diangkat hanyalah isu yang menguntungkan dirinya. Selama bisa fyp , menambah followers , meningkatkan likes dan jumlah tayangan, maka isu itu akan jadi konten. Namun, jika tidak ada nilai jual, meski menyangkut nyawa manusia, akan dibiarkan sunyi.  Inilah wajah baru dunia maya: kepedulian diukur dengan algoritma, bukan dengan nurani. Demo belakangan di Makassar yang menelan korban nyawa, nyaris tak terdengar gaungnya. Mengapa? Karena korban bukan ojol, bukan pula polisi yang bisa “dijadikan bahan dramatisasi.” Tragisnya, yang muncul justru komentar kejam: “kenapa juga malam masih kerja?” Naudzubillah.  Demo memang hak rakyat, tapi harus dijalankan dengan tertib dan damai. Begitu berubah menjadi anarkis dan menimbulkan korban, maka pelakunya harus bertanggung jawab. Nyawa yang hilang bukan sekadar angka. Itu adalah manusia dengan keluarga, dengan harapan, dengan masa depan. Dan hukum kehidupan berlaku: apa pun keburukan ya...