Menjembatani Kesenjangan Generasi di Kantor Pemerintahan
Masuknya generasi Z sebagai aparatur sipil negara di instansi pemerintahan membawa dinamika baru yang tak bisa dihindari. Mereka datang dengan semangat tinggi, kemampuan adaptasi digital yang mumpuni, serta harapan terhadap sistem kerja yang lebih adil dan terbuka. Namun di balik semangat itu, muncul pula gesekan yang bisa menimbulkan kecanggungan antarpegawai lintas generasi.
Salah satu isu yang kerap muncul adalah perasaan ketimpangan antara pegawai muda dan senior dalam hal beban kerja dan penghasilan. Banyak pegawai muda merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan jauh lebih menyita waktu dan energi dibandingkan rekan-rekan senior mereka, tetapi penghasilan yang diterima justru jauh lebih rendah. Akibatnya, muncul kecemburuan yang menggerus rasa hormat, melemahkan kerja sama, dan mengganggu iklim kerja di kantor.
Padahal, jika ditilik lebih dalam, perbedaan itu tidak selalu mencerminkan ketidakadilan. Sistem penggajian di pemerintahan bersifat struktural dan berbasis pada masa kerja, bukan semata-mata beban atau capaian kerja. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri di era di mana generasi muda terbiasa dengan sistem merit-based seperti di sektor swasta.
Namun, bukan berarti perasaan tidak puas itu bisa diabaikan. Jika dibiarkan, akan tercipta jurang komunikasi antara generasi muda dan senior. Pegawai muda merasa tidak dihargai, sementara pegawai senior merasa direndahkan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan soliditas tim kerja dan menurunkan produktivitas instansi.
Di sinilah peran pimpinan menjadi sangat penting. Seorang pimpinan tidak cukup hanya menjadi pengatur tugas administratif, tetapi juga harus menjadi fasilitator hubungan antarmanusia. Pimpinan perlu peka terhadap dinamika sosial di kantornya, dan aktif menciptakan ruang-ruang dialog antar generasi. Forum diskusi, mentoring lintas usia, serta transparansi mengenai sistem karier dan penghargaan bisa menjadi jembatan yang memperkuat pemahaman dan solidaritas.
Generasi muda bukan ancaman bagi sistem yang sudah ada, melainkan aset yang berharga untuk masa depan birokrasi. Sebaliknya, generasi senior bukan penghambat perubahan, melainkan penjaga pengalaman dan nilai-nilai yang telah teruji. Keduanya harus saling mengisi, bukan saling menyalahkan.
Saat ini, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja profesional, tetapi juga mampu menjaga harmoni sosial di tempat kerja. Menjaga semangat kolaboratif lintas generasi bukan sekadar tugas bagian sumber daya manusia, tetapi tanggung jawab bersama—dan terutama, tanggung jawab para pemimpin.