Antara Anarkis, Dunia Maya, dan Jariyah Digital
Saat ini dunia usaha nyata tengah menghadapi banyak kendala. Bukan hanya tekanan ekonomi global, tetapi juga situasi sosial dalam negeri yang kadang memanas. Demo yang berujung anarkis, misalnya, jelas menimbulkan dampak luas: roda usaha terganggu, pelaku bisnis terpaksa menutup pintu, dan para pekerja kehilangan nafkah. Dunia ril menjadi rapuh, mudah terguncang oleh gejolak di jalanan.
Sebaliknya, dunia maya justru terus tumbuh. Platform seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok semakin merajai ruang publik. Orang-orang kini lebih sering “berjualan gagasan” lewat kata-kata, gambar, dan video. Namun, di balik pertumbuhan ini, ada sisi lain yang mengkhawatirkan: banyak yang hanya mengumbar ujaran tanpa verifikasi, dengan alasan “nanti toh bisa diklarifikasi.”
Inilah wajah baru yang bisa disebut sebagai jariyah digital. Dalam Islam, dikenal istilah amal jariyah—kebaikan yang terus mengalir pahalanya meski pelakunya sudah tiada. Namun, di era digital, amal jariyah itu bisa bermuka dua: bila yang tersebar adalah kebaikan, ia menjadi pahala; bila yang ditabur adalah kebencian, fitnah, atau kebohongan, maka ia pun menjadi dosa jariyah. Bedanya, dampak dari dosa digital ini jauh lebih sulit ditebus. Permintaan maaf tidak lagi cukup, karena siapa saja bisa terkena imbasnya: individu, keluarga, bahkan masyarakat luas.
Di titik inilah kita harus berhati-hati. Jika dunia nyata bisa runtuh oleh aksi anarkis, maka dunia maya bisa runtuh oleh ujaran yang sembrono. Kedua-duanya meninggalkan luka. Maka, baik di jalanan maupun di jagat digital, kendali diri dan kesadaran moral adalah kunci. Sebab, jejak langkah bisa hilang tertiup angin, tapi jejak digital dan akibatnya akan terus membekas, entah sebagai kebaikan yang mengalir atau keburukan yang tak berkesudahan.