Ngomel

Ngomel atau marah mungkin hal biasa kita dapati, untuk meluapkan bisa keluar kata-kata yang nadanya tinggi. Bisa juga makian dll. 

Beberapa kali dengar, Maitua, diomelin sama teman kantor. Mendengar dia bercerita tentang kegiatan hari itu di kantor dalam perjalanan pulang ke rumah. Tumpah semua, apa saja diceritakan disitu. Katanya langsung plong mengeluarkan semua uneg-uneg nya.

Kadang saya juga mendengar bunyi telepon dari teman kantor yang "ngomel"  karena kalau terima telepon di rumah mengenai pekerjaan tidak pernah dibisukan sehingga saya pun ikut mendengarkan omelan dari seberang telepon.

Begitu selesai menerima telepon atau dia bercerita, saya suka menanyakan temannya, umur berapa ya.

Biasanya akan dijawab lahiran tahun 95, 96, 97, 98, 99 atau bahkan ada tahun 2000.

Padahal kalau di lihat dari usia, jauh sekali dari saya dan maitua. Beberapa bahkanseumuran dengan anak pertama saya.

Ketika seusia dia, saya jadi mengingat apakah saya pernah ngomel dengan orang yang lebih tua atau yang seumuran atau yang usianya dibawah saya.

Sepertinya belum pernah dan diusahakan tidak akan pernah. Tapi kalau sama anak, saya pernah ngomel.

Maitua juga, pernah saya tanya kenapa gak balas omelannya. Dia akan menjawab saya takut lawan bicaranya nanti jantungan lalu pingsan. Kan merepotkan semuanya...

Kan kalau ada yang ngomel cukup didengarkan saja, jangan dibawa ke pikiran kita. Kita akan tetap tenang. Toh, gak ada yang hilang atau berkurang dari kita.

Benar juga...

Ada 2 kemungkinan teman kantor tersebut berani ngomel dengan kita yakni :

1. Merasa setingkat

Dalam dunia kerja, untuk jabatan yang sama atau dibawahnya maka orang tersebut berani ngomel. Kalau ke tingkat diatasnya mana berani, pindah yang ada... Nilai dari atsungnya bisa-bisa.... 

2. Takut di marahi.

Biasanya karena kita menyampaikan ke atasannya mengenai adminstrasi yang membutuhkan persetujuan maka dia dikhawatir di marahi bosnya karena dianggap gak mengerjakan atau lalai. 

Permasalahan yang sering saya tangkap dari obrolan dengan maitua, biasanya karena 2 hal :

1. Beda pendapat

Beda pendapat dengan teman yang setingkat secara struktural karena beda penafsiran ketentuan. Beda pendapat mengenai hal adminstrasi lainnya. Namun dalam penyampaiannya bukan debat tapi malah ke arah gak terima kalau pendapat nya gak diterima. 

2. Prosedural

Setiap produk naskah dinas harus memperoleh persetujuan adminstrasi oleh atsungnya. Nah, biasanya kita akan menginfokan ke atsungnya, gak ke stafnya. Kan yang punya hak dan kewenangan ada atsungnya.

Saya jadi berpikir kenapa generasi diatas 90, bisa dan berani seperti itu. Mungkin ketika dirumah gak diajarkan sama orang tuanya atau bisa juga karena terkekang di rumah sehingga meluapkan apa saja yang ada di kepalanya. Bisa juga karena hal lainnya. 

Di samping itu, dunia pendidikan yang menonjolkan akan pentingnya nilai dan keterampilan tapi melupakan pelajaran etika atau adab. Sehingga etika ketika debat, beda pendapat dan merasa dilangkahi telah hilang sehingga menjadikannya gampang marah. 

Jadi ingat tentang buku mensucikan jiwa punyanya pak said hawa, buku yang menurut ku sangat baik. Membahas banyak hal, ada tentang adab di paling awal bukunya.

Yang menandakan betapa pentingnya hal tersebut.

Semoga kedepannya, anak-anak ku memiliki adab dan etika yang baik.

Semoga


Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor