Agar Tak Lagi Tertipu Janji Manis Berkedok Koperasi
Setiap kali kita membaca berita tentang koperasi simpan pinjam yang gagal bayar, pola ceritanya nyaris sama: iming-iming bunga tinggi, janji aman, dan akhirnya dana lenyap tak tentu arah. Ironisnya, meski pola penipuannya sudah begitu sering terjadi, tetap saja ada korban-korban baru. Maka pertanyaannya: kenapa masyarakat masih mudah tertipu? Dan bagaimana agar hal ini tak terus berulang?
Jawabannya tidak sederhana. Namun satu hal yang pasti, selama masyarakat tidak memiliki daya kritis terhadap janji manis, skema tipu-tipu akan terus subur. Dalam banyak kasus, orang bukan hanya tertipu karena tidak tahu, tapi juga karena terlalu ingin cepat untung.
Kita perlu secara serius membangun budaya melek finansial. Literasi keuangan tidak cukup diajarkan sebagai teori, tapi harus menjadi kebiasaan hidup. Masyarakat harus terbiasa mempertanyakan: "Dari mana asal keuntungan besar itu? Apakah usahanya jelas? Apakah ada izin resmi? Siapa yang mengawasi?"
Sayangnya, masih banyak yang datang ke rapat koperasi tanpa membaca laporan keuangan, atau bahkan tidak tahu cara membacanya. Ketika ditanya, mereka hanya menjawab, “Yang penting saya dapat bagian.” Di sinilah akar masalahnya. Keserakahan yang dibungkus ketidaktahuan adalah ladang subur bagi penipuan.
Pemerintah dan otoritas koperasi tentu harus hadir lebih awal—bukan hanya saat krisis meledak. Tapi perlindungan terbaik tetap dimulai dari masyarakat itu sendiri: berani bertanya, berani curiga, dan tidak gampang percaya pada janji untung besar tanpa kerja keras.
Karena dalam dunia keuangan, satu prinsip tak pernah berubah: semakin besar imbalan yang dijanjikan, semakin besar pula risikonya.