Penyesalan yang Datang Terlambat: Cerminan dari Sistem dan Kesadaran Diri
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Itu sebabnya ia disebut penyesalan. Banyak dari kita yang baru merasakannya ketika telah memasuki dunia kerja, saat beban dan tanggung jawab tidak lagi bisa dihindari, dan hidup tidak lagi bisa diselesaikan dengan menyontek PR atau sekadar menghafal rumus.
Masa SD dan SMP seringkali hanya kita jalani sebagai rutinitas. Bangun pagi, pergi ke sekolah, mengerjakan PR, lalu bermain. Tujuan pendidikan saat itu belum benar-benar kita pahami. Kita belajar karena disuruh, bukan karena ingin tahu. Saat SMA, mulai muncul kesadaran diri, meskipun masih samar. Kita mulai mengenal makna persahabatan, merasakan tekanan ujian nasional, bahkan mungkin mulai membayangkan masa depan. Namun, fokus tetap terpecah — antara tugas sekolah dan kebutuhan bersosialisasi.
Lalu datanglah masa kuliah. Fase ini seharusnya menjadi masa pembentukan jati diri, eksplorasi potensi, dan pembekalan menuju dunia nyata. Namun sayangnya, banyak mahasiswa — termasuk saya sendiri, saat masih kuliah, yang hanya menjalani kuliah sekadar untuk menyelesaikan kewajiban akademik. Nilai pas-pasan, asal lulus. Wawasan dan keterampilan? Kadang kalah oleh tuntutan sosial dan budaya instan.
Barulah ketika bekerja, realitas menyeruak. Kita sadar bahwa dunia tidak ramah pada mereka yang biasa-biasa saja. Di sinilah muncul rasa sesal yang menggerogoti: “Coba dulu aku lebih serius belajar.” “Seandainya aku dulu ikut organisasi yang membentuk kemampuan komunikasi.” “Andai dulu aku tidak menyia-nyiakan waktu. Andai dan andai...terus bermunculan. ”
Tapi penyesalan ini bukan hanya kesalahan individu semata. Ia juga cerminan dari sistem pendidikan kita yang lebih banyak menuntut hafalan daripada membentuk karakter dan motivasi belajar. Sistem yang menilai sukses dari angka, bukan dari proses berpikir.
Namun, menyalahkan masa lalu tanpa berbuat apa-apa hari ini hanya memperpanjang penyesalan itu sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah menjadikan semua ini sebagai cermin. Memperbaiki yang bisa diperbaiki. Menyemangati generasi di bawah kita untuk belajar dengan kesadaran, bukan paksaan. Dan yang terpenting: memulai kembali dari titik kita berdiri sekarang.
Karena tidak ada kata terlambat untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.