Merantau di Usia Matang: Sebuah Refleksi tentang Perubahan, Kesempatan, dan Keberkahan

Tidak semua orang mengalami pengalaman pertama di usia muda. Bagi sebagian orang, justru “pertama kalinya” datang setelah melewati seperempat abad masa kerja, di usia menjelang lima puluh tahun—ketika hidup terasa sudah stabil, ritmenya bisa ditebak, dan kenyamanan telah menjadi kebiasaan.

Namun mutasi pekerjaan kali ini mengubah banyak hal. Bukan sekadar berpindah tempat kerja, tapi juga berpindah cara hidup. Untuk pertama kalinya, saya harus ngekos. Setelah sekian lama menjalani hidup dari rumah—kuliah dari rumah, menikah dan membesarkan anak di rumah sendiri, bekerja dari kota ke kota namun selalu kembali ke pelukan keluarga—kini saya belajar hidup mandiri di luar zona nyaman.

Cianjur menjadi ladang baru. Kota yang dulu hanya dilewati kini harus dipelajari, dipahami, dan dimaknai sebagai tempat beraktivitas, membangun koneksi, serta menjemput rezeki. Banyak yang mungkin menganggap merantau adalah hal biasa. Tapi bagi sebagian lainnya, terutama yang terbiasa hidup dalam kehangatan keluarga setiap hari, ini adalah lompatan besar—baik secara mental maupun emosional.

Namun saya percaya, dalam setiap perubahan, selalu terselip peluang. Kesempatan untuk belajar lagi, mengenal diri lebih dalam, serta menumbuhkan rasa syukur. Sebab rezeki bukan hanya soal materi, tetapi juga soal pengalaman dan pelajaran hidup yang membentuk jiwa dan cara pandang kita.

Semoga langkah baru ini, meskipun datang terlambat dibandingkan banyak orang, tetap membawa manfaat, keberkahan, dan kedewasaan. Karena hidup, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai, melainkan siapa yang mampu tumbuh, bertahan, dan memberi makna di mana pun ia ditempatkan.

Sebagian orang mungkin bertanya, bagaimana mungkin seorang suami mengizinkan istrinya bekerja jauh dari rumah, terlebih dalam usia yang tak lagi muda? Tapi menurut saya, inilah bentuk kemitraan dan kepercayaan dalam rumah tangga.

Saya bertemu dengan istri saya ketika ia sudah bekerja. Sejak awal, saya tahu bahwa pekerjaan bukan hanya rutinitas baginya, tapi bagian dari jati diri, bentuk pengabdian, dan kontribusi nyata bagi masyarakat. Karena itulah saya selalu berkata: “Kalau suatu saat kamu ingin berhenti bekerja, itu bukan karena saya yang meminta, tapi karena kamu sendiri yang memutuskan.”

Keputusan besar seperti ini tentu tidak pernah diambil sepihak. Kami berdiskusi panjang—tentang anak, tentang jarak, tentang kesehatan, hingga soal batin dan spiritual. Namun pada akhirnya, kami sampai pada satu pemahaman: bahwa tugas bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, dan pengabdian sering kali menuntut pengorbanan.

Saya percaya, selama dijalani dengan keikhlasan dan saling mendukung, rumah tetap bisa terasa dekat meski dipisahkan jarak. Karena keluarga bukan semata-mata soal lokasi, tapi soal komitmen, doa, dan kepercayaan.

Semoga ladang baru ini membawa keberkahan. Dan semoga perjalanan ini tidak hanya menjadi bentuk tugas negara, tapi juga bagian dari amal kehidupan.


Postingan populer dari blog ini

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo