Skema Ponzi dalam Kedok Koperasi — Antara Literasi dan Janji Palsu

Skema Ponzi dalam balutan koperasi bukan hal baru, dan ironisnya, terus terulang. Setiap kali satu kasus mencuat ke permukaan—dana anggota digelapkan, pengurus kabur, atau koperasi dibekukan—masyarakat seolah terkejut, tapi tak lama kemudian muncul koperasi baru dengan tawaran menggiurkan yang sama. Lingkaran ini terus berputar.

Yang terbaru kasus sebuah koperasi dari magelang. Mirip dengan kejadian yang dari Salatiga. 

Mengapa bisa berulang? Ada tiga faktor utama. Pertama, literasi keuangan masyarakat masih rendah. Banyak anggota koperasi bahkan tidak tahu cara membaca laporan keuangan atau memahami rasio kewajaran imbal hasil. Yang mereka tahu hanyalah: “Kalau saya setor sekian, saya akan dapat lebih banyak dalam waktu cepat.” Di sinilah jebakan dimulai—janji imbalan besar menjadi umpan manis bagi banyak orang.

Kedua, pengawasan pemerintah seringkali lemah dan reaktif, bukan preventif. Ketika kasus besar mencuat, barulah tindakan diambil. Tapi sebelumnya? Koperasi-koperasi semacam ini bisa bebas bergerak, berlindung di balik status badan hukum dan formalitas Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang seolah sah padahal sekadar formalitas. RAT pun kerap dijadikan tameng legalitas, padahal banyak anggota tidak memahami isinya dan asal menyetujui.

Ketiga, dan ini yang paling fundamental: keserakahan dan harapan cepat kaya. Skema Ponzi tumbuh subur karena ada pasar untuknya—pasar yang siap menyerahkan uangnya demi imbalan tinggi tanpa mempertanyakan logika bisnisnya.

Koperasi seharusnya menjadi alat kemandirian ekonomi dan gotong royong. Namun, ketika nilai-nilai itu dilucuti dan diganti dengan orientasi profit semu, koperasi hanya menjadi kendaraan kejahatan terselubung. Ini bukan sekadar soal sistem, tapi soal kesadaran bersama—antara negara, pelaku, dan masyarakat.

Tanpa literasi, tanpa pengawasan, dan tanpa kesadaran kritis, koperasi akan terus menjadi sarang penipuan yang terbungkus rapi. Maka, sebelum mengeluh karena tertipu, mari bertanya lebih dulu: “Apakah kita tahu ke mana uang kita pergi?”

Postingan populer dari blog ini

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo