Timur Tengah: Rumah Umat yang Terpecah oleh Kepentingan dan Warisan Luka
Timur Tengah adalah tanah kelahiran para nabi, pusat sejarah Islam, dan rumah bagi Ka'bah serta Masjidil Aqsa. Negara asal agama-agama samawi. Namun ironisnya, ia juga menjadi wilayah dengan tingkat konflik dan perpecahan tertinggi di antara negara-negara Islam dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan lainnya.
Mulai dari perang saudara, invasi, kudeta, hingga proxy war antar sekutu asing — Timur Tengah telah berubah dari simbol kejayaan Islam menjadi medan perseteruan tanpa akhir.
Warisan Perpecahan: Dari Kekhalifahan ke Negara-Negara Lemah
Setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pasca Perang Dunia I, wilayah Timur Tengah dipetak-petakkan oleh kekuatan kolonial Barat: Perjanjian Sykes-Picot membagi tanah Arab menjadi zona kekuasaan Prancis dan Inggris.
Negara-negara baru lahir — Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, dan lainnya — bukan berdasarkan ikatan agama atau sejarah bersama, tapi berdasarkan kepentingan geopolitik kolonial. Inilah akar dari banyak krisis yang muncul kemudian:
- Perbatasan yang tidak sesuai realitas etnis dan mazhab.
- Rezim-rezim yang berdiri di atas bantuan asing, bukan legitimasi rakyat.
- Identitas nasional yang rapuh dan saling mencurigai.
Iran vs Saudi: Perang Dingin Dunia Islam
Salah satu penyebab utama perpecahan dunia Islam di Timur Tengah adalah rivalitas Iran–Arab Saudi, yang mewakili lebih dari sekadar pertarungan politik:
- Iran menjadi simbol kekuatan Syiah revolusioner pasca 1979.
- Saudi mempertahankan peran sebagai penjaga Sunni konservatif dan status quo.
Rivalitas ini telah merembes ke berbagai konflik regional:
- Yaman: Houthi (Syiah) vs Koalisi Saudi.
- Suriah: Iran mendukung Assad, Saudi mendukung oposisi.
- Lebanon: Hizbullah pro-Iran vs blok pro-Barat dan Saudi.
- Bahrain: ketegangan mayoritas Syiah vs monarki Sunni yang didukung Saudi.
Yang terjadi bukan hanya konflik fisik, tapi perang narasi keislaman, yang memecah belah umat hingga ke akar ideologisnya.
Peran Negara Asing: Menyulut dan Memanfaatkan Perpecahan
Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan kekuatan besar lainnya bukan hanya pengamat. Mereka adalah pemain aktif dalam mempertahankan perpecahan ini:
- Menjual senjata kepada kedua belah pihak.
- Mendukung rezim otoriter jika sesuai kepentingan.
- Memanfaatkan konflik mazhab dan etnis sebagai alasan campur tangan.
Inilah yang menjadikan konflik di Suriah, Irak, Yaman, dan Palestina tak kunjung selesai — karena selalu ada “sponsor” asing yang menyuplai bahan bakar bagi api yang menyala.
Ketika Islam Jadi Alat Politik, Bukan Nilai Pemersatu
Tragisnya, dalam banyak kasus, Islam justru dijadikan alat pembenaran kekuasaan dan konflik. Nama Islam diucapkan dalam pidato-pidato resmi, tapi dilanggar dalam keputusan militer. Solidaritas sesama Muslim dikumandangkan saat dibutuhkan, tapi diabaikan saat tidak menguntungkan.
Mazhab dan loyalitas politik menggantikan ukhuwah. Sementara rakyat biasa — warga Gaza, Damaskus, Sana’a, dan Mosul — terus membayar harga dari konflik yang mereka sendiri tak pernah pilih.
Kapan Timur Tengah Menyatu?
Selama negara-negara Islam di Timur Tengah lebih sibuk bersaing daripada bersatu, selama mazhab lebih dipertentangkan daripada disatukan oleh akhlak dan kemanusiaan, maka Timur Tengah akan tetap menjadi ladang perang dan kehancuran.
Organisasi seperti OKI, Liga Arab, atau Forum Ulama hanya akan menjadi formalitas diplomatik — selama akar perpecahan tidak diobati dengan kejujuran, keberanian berdialog lintas perbedaan, dan kemauan bersama untuk meletakkan kepentingan umat di atas segalanya.
Mungkinkah itu terjadi? Mungkin. Tapi hanya jika umat Islam berani berhenti saling curiga — dan mulai saling percaya kembali.