Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Mengambil yang Bukan Haknya

Mengambil yang bukan miliknya, sejatinya adalah perbuatan tercela. Sejak kecil, orang tua selalu menanamkan nilai bahwa kejujuran lebih berharga daripada harta. Tidak ada keluarga yang dengan sengaja mengajarkan keburukan. Justru setiap orang tua berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang lurus, menjaga kehormatan dirinya, dan menghargai hak orang lain. Namun, dalam kenyataannya masih saja ada orang yang tergoda untuk merampas, mencuri, atau menguasai sesuatu yang bukan haknya. Perbuatan seperti ini tidak hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meninggalkan luka sosial bagi masyarakat. Karena itu, siapa pun pelakunya, pantas dihukum sesuai aturan. Hukum hadir bukan semata untuk memberi efek jera, melainkan juga untuk menegakkan keadilan dan melindungi mereka yang haknya dirampas. Bagi yang percaya pada hukum sebab-akibat, mengambil yang bukan haknya tidak akan pernah membawa berkah. Cepat atau lambat, karma akan kembali. Mungkin bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada kelua...

Dampak Negatif Demo Anarkis bagi Dunia Usaha

Demo anarkis tidak hanya merusak fasilitas umum, tetapi juga meninggalkan efek panjang bagi dunia usaha. Banyak pelaku usaha terpaksa menutup sementara bahkan gulung tikar karena kerusakan maupun turunnya omset. Akibatnya, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) pun meningkat, yang justru merugikan para pekerja sendiri. Lebih jauh, iklim investasi menjadi terganggu. Investor akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal di negara yang dianggap tidak stabil. Pada akhirnya, masyarakat luas yang menanggung akibatnya—kesempatan kerja berkurang, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan daya saing bangsa ikut menurun. Aspirasi tentu sah disuarakan, tapi jika jalannya dengan cara anarkis, justru menciptakan masalah baru yang lebih merugikan daripada menyelesaikan persoalan.

Demo Anarkis, Pekerja Harian yang Paling Merugi

Bagi pekerja yang dibayar sesuai output atau jumlah pekerjaan, libur sehari saja sudah berarti kehilangan pendapatan. Ketika demo anarkis memaksa dunia usaha menutup kegiatan—bahkan entah sampai kapan—dampaknya jauh lebih berat. Mereka tidak bisa bekerja, tidak bisa menghasilkan, dan otomatis tidak bisa membawa pulang upah. Sedangkan kebutuhan rumah tangga tetap berjalan, lalu bagaimana cara untuk memenuhi kalau semua tutup.  Di sinilah letak ironi demo anarkis. Aspirasi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menambah beban rakyat kecil. Pedagang kecil, pekerja harian, karyawan kontrak, semuanya ikut terjebak dalam lingkar kerugian. Karena itu, menyampaikan aspirasi harus tetap dalam koridor damai. Dengan begitu, suara tetap didengar, sementara roda usaha dan kehidupan para pekerja tidak ikut terhenti.

Surat Pernyataan Demo Agar Tertib dan Damai

Demonstrasi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Namun, kebebasan tersebut seharusnya tetap dijalankan dengan tertib dan damai. Sayangnya, tidak jarang aksi demo berujung pada kerusakan fasilitas umum bahkan kerugian materiil bagi masyarakat. Inilah yang seharusnya tidak ditolerir, karena tujuan menyampaikan aspirasi mestinya tidak merugikan orang lain. Sebagai bentuk tanggung jawab, ada baiknya setiap penyelenggara demo diwajibkan membuat surat pernyataan sebelum aksi berlangsung . Surat tersebut berisi kesanggupan untuk menanggung segala kerusakan dan kerugian yang terjadi sepanjang aksi, jika ternyata timbul akibat perbuatan massa. Dengan demikian, hak menyampaikan pendapat tetap terlindungi, sementara ketertiban dan kepentingan umum juga terjaga.

Bahaya Demo Anarkis bagi Dunia Usaha dan Masyarakat

Demonstrasi adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Selama dilakukan dengan tertib dan damai, demo merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang harus dihormati. Namun persoalannya menjadi berbeda ketika demo berubah menjadi anarkis—merusak fasilitas umum, menutup akses jalan, hingga mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, bahkan sampai menjarah.  Dunia usaha adalah salah satu pihak yang paling terdampak. Ketika jalur distribusi terhambat, toko dan kantor harus tutup, atau fasilitas rusak akibat massa yang tidak terkendali, maka roda ekonomi pun terganggu. Penjarahan menjadi momok yang paling menakutkan dunia usaha. Banyak pelaku usaha kecil maupun besar merugi, bahkan tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar. Ujungnya, pekerja menjadi korban dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampak jangka panjangnya lebih serius lagi. Investor, baik dalam negeri maupun luar negeri, akan ragu menanamkan modal di tempat yang dianggap tidak stabil. ...

Layanan SIM Keliling Kota Bogor

Gambar
Menurut saya, keberadaan layanan mobil SIM keliling di Kota Bogor merupakan terobosan yang sangat membantu masyarakat. Dengan jadwal yang tersedia setiap hari, mulai hari Senin hingga hari Minggu, pukul 07.00–10.00 pagi, warga masyarakat jadi memiliki lebih banyak pilihan waktu untuk memperpanjang SIM tanpa harus datang langsung ke Satpas. Apalagi lokasi mobil keliling ditempatkan di titik-titik strategis, membuat aksesnya lebih mudah dijangkau. Dari sisi biaya, tarif perpanjangan SIM C sebesar Rp280 ribu dan SIM A Rp285 ribu, pelaksanaan dimulai dengan pendaftaran, mengisi soal psikologi, tes kesehatan dan lanjut foto. Prosesnya resmi dan transparan. Ohiya, jangan lupa membawa foto coli KTP, 2 lembar dan SIM asli yang akan diperpanjang. Ke depan akan lebih baik jika masyarakat terus diberikan edukasi tentang rincian komponen biaya oleh satpas, agar tidak ada kesalahpahaman mengenai biayanya.  Secara keseluruhan, layanan ini memperlihatkan komitmen kepolisian dalam meningkatkan ...

Perang Kognitifi dan Hancurnya Suatu Bangsa

P erang kognitif dan dominasi teknologi informasi bisa dibilang sebagai cara paling mudah dan murah untuk menghancurkan suatu bangsa —tanpa harus mengirim tentara atau menembakkan peluru. Ada beberapa alasan yang mendasarinya : 1. Menghancurkan dari Dalam, Bukan dari Luar Jika perang fisik menyerang pertahanan luar, perang kognitif menyerang pikiran, persatuan, dan kepercayaan masyarakat . Bangsa yang pecah dari dalam jauh lebih mudah dikendalikan atau dilemahkan. 2. Biaya Murah, Efek Besar Dengan hanya modal jaringan, bot, narasi, atau hoaks, sebuah pihak bisa: Membuat masyarakat saling curiga, Menurunkan kepercayaan pada pemerintah, Melemahkan semangat kebangsaan dan identitas nasional. 3. Sulit Dideteksi dan Dilawan Musuh tidak selalu terlihat. Serangannya lewat narasi, meme, video, atau influencer anonim. Jika rakyat tidak sadar sedang diserang, mereka malah jadi alat penghancur bangsanya sendiri. 4. Mengacaukan Stabilitas Politik dan Ekonomi Narasi yang sengaja digir...

Etika Bermedia Sosial

Isu penting tentang etika bermedia sosial dan tanggung jawab publik terhadap ujaran kebencian atau penghinaan. Ketika seseorang diberi panggung (misalnya, dengan menyebarluaskan unggahan mereka, mengomentari, atau memberi respons emosional), dan kontennya bersifat menghina atau merendahkan individu lain, maka secara tidak langsung kita ikut memberi validasi dan amplifikasi terhadap perilaku itu. Hal ini bisa memperkuat narasi bahwa penghinaan itu wajar atau bahkan layak dibenarkan, apalagi jika banyak orang ikut bersorak. Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: Platform adalah panggung: Media sosial memberi kekuatan kepada siapa pun untuk berbicara. Tapi kita juga punya kendali untuk memilih siapa yang layak didengar. Popularitas ≠ Kebenaran: Hanya karena banyak orang setuju atau menonton, bukan berarti hal itu benar atau layak. Konsekuensi sosial penting: Jika seseorang terus diberikan panggung meskipun menyebar ujaran kebencian atau penghinaan pe...

Analogi Jejak Digital

Jejak digital—apa yang kita lakukan di internet, seperti apa yang kita klik, tulis, unggah, atau bagikan—ibarat "kesaksian" dari tindakan kita, yang terekam dan bisa diketahui orang lain bahkan tanpa kita sadari. Ini sangat mirip dengan konsep spiritual atau religius yang menyatakan bahwa di akhirat nanti, bukan mulut yang berbicara, tetapi tangan, kaki, dan anggota tubuh lain yang akan menjadi saksi atas perbuatan kita (misalnya dalam ajaran Islam, ini disebutkan dalam Surah Yasin ayat 65). Kesamaan yang bisa diambil antara keduanya: Tindakan berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Jejak digital mencerminkan tindakan nyata kita, seperti tubuh yang menjadi saksi kelak. Tidak bisa disangkal. Seperti anggota tubuh yang tidak bisa berbohong, jejak digital pun sulit dihapus dan bisa menjadi bukti kuat atas perilaku kita. Tersimpan dan akan ‘dibuka’ kembali. Sama seperti catatan amal di akhirat, data digital juga bisa dibuka kapan saja oleh pihak lain, seperti pen...

Perang Kognitif dan Runtuhnya Fondasi Sosial Suatu Bangsa

Perang kognitif bukan hanya menyerang militer atau ekonomi, tapi langsung menyasar ke urat nadi sebuah bangsa: kesatuan dan kesadaran kolektif masyarakatnya. Dalam perang ini, senjatanya adalah hoaks, framing, dan opini yang dimanipulasi. Sasaran utamanya adalah pikiran dan emosi rakyat. Ketika sebuah bangsa terseret dalam perang kognitif, masyarakat menjadi mudah tersulut, saling mencurigai, dan saling menghujat. Perbedaan pendapat dibenturkan seolah kebenaran hanya milik satu pihak. Polarisasi terjadi bukan karena alasan ideologis murni, tetapi karena narasi yang sengaja diadu. Akibatnya, rasa persaudaraan melemah, rasa saling percaya hilang, dan yang tersisa hanyalah keributan tanpa arah. Inilah dampak paling berbahaya dari perang kognitif: rakyat dijadikan musuh satu sama lain tanpa sadar sedang dijadikan alat oleh kekuatan luar atau elit tertentu. Negara bisa runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena tercerai-berai dari dalam. Bangsa yang kuat bukan hanya punya senjata...

Jangan Beri Panggung bagi Penghinaan

Di era media sosial, setiap orang memiliki mikrofon dan panggungnya sendiri. Namun, tak semua yang berbicara layak untuk didengar. Terutama ketika seseorang dengan sengaja menggunakan ruang publik digital untuk menghina pribadi lain—entah atas dasar ketidaksukaan, dendam, atau sekadar mencari sensasi. Masalahnya tak berhenti pada si pelaku penghinaan. Ketika unggahan bernada hinaan itu mendapat perhatian luas, disaksikan ribuan bahkan jutaan orang, sesuatu yang seharusnya dianggap buruk justru mendapat tempat. Lebih parah lagi, ia menjadi pembenaran massal. Penghinaan yang awalnya bersifat personal kini berubah menjadi tontonan dan konsumsi publik. Banyak yang lupa: diam atau tertawa dalam kasus seperti ini juga bentuk persetujuan yang diam-diam. Inilah saatnya kita bertanya: apakah orang yang mengandalkan hinaan sebagai konten pantas terus diberi panggung? Memberinya ruang sama saja dengan mengabadikan budaya kekerasan verbal, menyuburkan perundungan, dan menormalisasi kebencian. M...

ilmu padi: semakin berisi, semakin merunduk

Dalam peribahasa "ilmu padi: semakin berisi, semakin merunduk" yang menggambarkan bahwa semakin seseorang berilmu, seharusnya semakin rendah hati. Penambahan narasi tentang gabah diambil, dipotong, namun padi tidak protes dan malah tumbuh kembali memberi makna tambahan: bahwa orang bijak tidak hanya rendah hati, tapi juga tabah dan resilien menghadapi cobaan. Padi yang tetap bertunas setelah "dilukai" bisa dianalogikan dengan manusia berilmu yang tidak mudah tumbang oleh penderitaan, kritik, atau kehilangan. Ia justru akan bangkit dan memberi manfaat lagi. Ini adalah bentuk keteladanan dalam menghadapi hidup dengan penuh kerendahan hati dan kekuatan batin.

Warisan Tak Sekadar Soal Tanah, Tapi Tentang Rasa dan Kebersamaan

Sebagai orang tua dari empat anak, saya dan istri pernah merasa telah menjalankan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah ketika kami membagi beberapa bidang tanah yang kami miliki kepada anak-anak. Harapannya sederhana: supaya semua kebagian, supaya tidak jadi persoalan di kemudian hari. Nilainya sudah kami ukur, luasnya pun kami hitung agar setara. Kami pikir, kami sudah bersikap adil. Namun, kehidupan sering memberi pelajaran lewat hal-hal yang tak terduga. Salah satu anak kami berkata, “Pak, tanah yang itu lebih dekat ke tanah saya sekarang. Kenapa malah dikasih ke kakak? Kalau dari sisi kakak malah jauh.” Saya terdiam. Mungkin secara ukuran dan nilai, pembagian itu adil. Tapi ternyata, adil di mata orang tua belum tentu terasa adil di mata anak-anak. Ada hal-hal lain yang kami lewatkan: kedekatan letak, kebutuhan masing-masing, bahkan rasa keterikatan emosional pada lokasi tertentu. Yang membuat saya bersyukur adalah, anak-anak kami tidak langsung bertengkar...

Ketertiban Berkendara: Ketika Rasa Peduli Hilang di Jalan Raya

Fenomena ketidaktertiban berkendara semakin hari semakin mengkhawatirkan. Di berbagai kota, kita sering menyaksikan pengendara yang tidak lagi menghormati aturan lalu lintas maupun hak pengguna jalan lainnya. Banyak yang mengambil lajur orang lain, bahkan tidak segan menerobos jalur lawan arah demi menghindari antrean di lampu merah. Semua dilakukan demi kepentingan pribadi, tanpa memikirkan dampak terhadap orang lain. Ketika lampu lalu lintas menyala merah, seharusnya pengendara berhenti dan menunggu dengan tertib di jalurnya masing-masing. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: pengendara motor dan mobil berlomba-lomba mencari celah, bahkan sampai menutup jalur dari arah berlawanan. Akibatnya, kendaraan dari arah yang benar pun terhalang, menciptakan kekacauan dan kemacetan yang lebih parah. Bunyi klakson yang bersahut-sahutan menjadi pemandangan dan suara yang lumrah di jalanan. Bukan sebagai tanda peringatan yang sopan, melainkan sebagai ekspresi ketidaksabaran dan tekanan emosi....

Belajar Mandiri dari Seorang Mahasiswa di Negeri Orang

Tahun 2025 menjadi tahun yang istimewa bagi saya. Anak kedua yang sedang menempuh tahun kedua kuliah di Tiongkok tiba-tiba meminta agar uang bulanan dari rumah dihentikan. Alasannya sederhana, tetapi sarat makna: uang saku dari universitas sudah cukup, dan ia juga memiliki penghasilan sendiri. Usaha yang dirintis sejak SMA. Disamping melakoni pekerjaan jastip ketika liburan tiba.  Bagi banyak orang tua, terutama yang anaknya kuliah di luar negeri, memberi dukungan finansial setiap bulan adalah hal lumrah. Namun, di balik kebiasaan itu, sering kali kita lupa bahwa anak juga perlu ruang untuk belajar mandiri. Keputusan anak saya ini mengingatkan bahwa kemandirian tidak datang tiba-tiba; ia adalah hasil dari pendidikan nilai, latihan disiplin, dan dorongan untuk berani mengelola hidupnya sendiri. Fenomena seperti ini seharusnya menjadi inspirasi, bukan hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi orang tua dan lembaga pendidikan. Orang tua perlu percaya bahwa anak mampu mengatur dirinya, ...

Demokrasi atau Kebebasan Berpendapat

Demokrasi memang memberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat, termasuk kritik terhadap pemerintah atau kebijakan publik. Tapi kebebasan itu bukan tanpa batas. Ia berhenti ketika mulai melanggar hak dan martabat orang lain. Sering kali, orang yang melakukan penghinaan atau ujaran kebencian berlindung di balik dalih "kritik". Padahal, kritik yang sehat itu berbasis argumen, fakta, dan bertujuan membangun. Menghina orang secara pribadi, merendahkan keluarganya, atau menyerang karakter secara tidak berdasar adalah bentuk kekerasan verbal, bukan kritik. Dalam konteks akademik maupun digital, banyak yang menyalahgunakan konsep "kebebasan berekspresi" untuk menyebarkan meme atau konten yang sebenarnya sudah melanggar norma, etika, kesopanan, bahkan kesusilaan. Mereka berlindung di balik dalih kritik sosial, satir, atau "kebebasan akademik", padahal substansinya tidak lagi mendidik atau membangun, melainkan justru merendahkan dan mencemarkan nama baik o...

Berharap Sukses Seperti Orang Sukses

Banyak buku biografi atau kisah sukses memang berisi perjalanan hidup, kiat, dan langkah-langkah spesifik yang diambil seseorang menuju kesuksesan. Tapi meniru persis langkah-langkah itu tidak menjamin kita akan mendapatkan hasil yang sama, karena ada banyak faktor yang ikut menentukan kesuksesan seseorang, misalnya: Konteks dan zaman : Kondisi ekonomi, teknologi, dan budaya saat mereka sukses mungkin berbeda jauh dengan kondisi kita sekarang. Lingkungan dan jaringan : Seringkali, relasi, mentor, atau peluang yang muncul karena faktor eksternal sangat berperan dalam perjalanan mereka. Bakat dan kepribadian : Setiap orang punya keunggulan unik—keterampilan, karakter, gaya berpikir—yang tidak bisa sepenuhnya ditiru. Keberuntungan : Banyak orang sukses sendiri mengakui bahwa faktor keberuntungan berperan besar, meskipun sulit diulang oleh orang lain. Namun, belajar dari kisah sukses tetap berguna . Kita bisa: Memahami pola pikir dan sikap yang membantu mereka bertahan da...

Fenomena Pecahan Harga

Fenomena ini sebenarnya mencerminkan perbedaan sistem dan pendekatan antara warung tradisional dan gerai modern seperti minimarket atau supermarket.  Berikut beberapa alasan dan penjelasannya: 1. Pecahan Harga di Warung Tradisional Pragmatisme : Warung cenderung membulatkan harga ke nominal pecahan besar (500 atau 1.000 rupiah) karena keterbatasan uang kembalian dan untuk mempermudah transaksi tunai. Efisiensi waktu dan tenaga : Membulatkan harga menghindari repotnya mencari kembalian receh. Fleksibilitas Sosial : Warung sering mengandalkan kepercayaan dan hubungan sosial, jadi pembulatan harga dianggap wajar dan dimaklumi kedua belah pihak. 2. Pecahan Harga di Minimarket/Supermarket Strategi Psikologis Harga : Harga seperti Rp 9.900 atau Rp 12.450 dipakai untuk memberi kesan harga lebih murah, meski selisihnya sedikit. Sistem Terotomatisasi : Kasir menggunakan sistem digital yang menghitung harga sampai satuan terkecil. Namun, ini bisa jadi rumit jika pembeli membayar tu...

Bayangkan Dunia Tanpa Sekat: Renungan dari Nilai Kemanusiaan

Belum lama mendengarkan kembali lagu Imagine yang ditulis oleh John Lennon pada tahun 1971, kalau tidak salah kutip. Liriknya sangat menarik, seolah memberikan mimpi kepada setiap manusia. Mengajak kita merenung lebih dalam tentang arah dunia hari ini. Peperangan yang terus terjadi atas negara. Konflik antara wilayah karena agama, siku dan ras. Semua berpulang karena kekuasaan.  Lagu itu bukan sekadar rangkaian nada dan lirik indah; ia adalah undangan untuk membayangkan dunia tanpa batas-batas artifisial—tanpa negara, tanpa agama, tanpa kepemilikan yang menjadi alasan manusia saling membunuh. Pada zamannya, lagu ini menuai kontroversi, bahkan dianggap utopis. Namun kini, lebih dari setengah abad kemudian, pesan lagu itu terasa sangat relevan. Dunia kita masih terpecah oleh bendera simbol negara, kepercayaan/agama, suku, ras dan kekuasaan. Perang masih berkobar, nyawa masih melayang, dan kebenaran masih sering dikalahkan oleh kepentingan kelompok. Ironisnya, banyak dari kekerasan...