Jangan Beri Panggung bagi Penghinaan
Di era media sosial, setiap orang memiliki mikrofon dan panggungnya sendiri. Namun, tak semua yang berbicara layak untuk didengar. Terutama ketika seseorang dengan sengaja menggunakan ruang publik digital untuk menghina pribadi lain—entah atas dasar ketidaksukaan, dendam, atau sekadar mencari sensasi.
Masalahnya tak berhenti pada si pelaku penghinaan. Ketika unggahan bernada hinaan itu mendapat perhatian luas, disaksikan ribuan bahkan jutaan orang, sesuatu yang seharusnya dianggap buruk justru mendapat tempat. Lebih parah lagi, ia menjadi pembenaran massal. Penghinaan yang awalnya bersifat personal kini berubah menjadi tontonan dan konsumsi publik. Banyak yang lupa: diam atau tertawa dalam kasus seperti ini juga bentuk persetujuan yang diam-diam.
Inilah saatnya kita bertanya: apakah orang yang mengandalkan hinaan sebagai konten pantas terus diberi panggung? Memberinya ruang sama saja dengan mengabadikan budaya kekerasan verbal, menyuburkan perundungan, dan menormalisasi kebencian.
Media sosial bukan tempat tanpa etika. Kita semua punya andil dalam menentukan seperti apa wajah dunia digital kita. Tak selalu harus menyerang balik atau terjebak dalam debat tak sehat. Terkadang, tindakan paling tegas justru adalah diam, tidak memberi atensi, tidak membagikan, dan memilih untuk mematikan mikrofon mereka.
Jika kita sepakat bahwa penghinaan bukanlah bentuk kritik yang sehat, maka sudah seharusnya kita juga sepakat untuk tidak memberinya ruang. Jangan beri panggung bagi penghinaan. Dunia sudah cukup bising tanpa perlu ditambah suara-suara yang merendahkan.