Warisan Tak Sekadar Soal Tanah, Tapi Tentang Rasa dan Kebersamaan

Sebagai orang tua dari empat anak, saya dan istri pernah merasa telah menjalankan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah ketika kami membagi beberapa bidang tanah yang kami miliki kepada anak-anak. Harapannya sederhana: supaya semua kebagian, supaya tidak jadi persoalan di kemudian hari. Nilainya sudah kami ukur, luasnya pun kami hitung agar setara. Kami pikir, kami sudah bersikap adil.

Namun, kehidupan sering memberi pelajaran lewat hal-hal yang tak terduga.

Salah satu anak kami berkata, “Pak, tanah yang itu lebih dekat ke tanah saya sekarang. Kenapa malah dikasih ke kakak? Kalau dari sisi kakak malah jauh.”
Saya terdiam. Mungkin secara ukuran dan nilai, pembagian itu adil. Tapi ternyata, adil di mata orang tua belum tentu terasa adil di mata anak-anak. Ada hal-hal lain yang kami lewatkan: kedekatan letak, kebutuhan masing-masing, bahkan rasa keterikatan emosional pada lokasi tertentu.

Yang membuat saya bersyukur adalah, anak-anak kami tidak langsung bertengkar. Tidak ada yang marah besar. Tidak ada ancaman membawa urusan ini ke pengadilan. Tapi saya bisa merasakan, ada sesuatu yang mengganjal. Dan kalau dibiarkan, bisa menjadi bara dalam sekam.

Maka saya ambil satu langkah penting: saya ajak bicara.

Saya kumpulkan mereka, dan saya katakan dengan hati terbuka, “Kalau ada yang merasa tidak pas, tidak nyaman, mari kita bicarakan. Tanah bisa kita atur ulang, tapi hubungan darah tak bisa diganti.”

Kami duduk bersama. Saling mendengarkan. Saling menyampaikan isi hati. Ternyata, dengan sedikit ruang untuk berdialog, semuanya jadi lebih mudah. Ada yang bertukar bidang tanah, ada yang memilih menjual lalu membagi hasilnya. Tidak semua sempurna, tapi yang penting: semua sepakat. Yang lebih membahagiakan lagi, keluarga kami tetap rukun.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa membagi warisan bukan hanya soal keadilan di atas kertas, tapi juga kepekaan terhadap rasa. Kita, orang tua, kadang terlalu yakin bahwa kita tahu apa yang terbaik untuk anak-anak, padahal belum tentu kita tahu isi hati mereka.

Bagi saya, warisan yang paling berharga bukanlah rumah atau tanah, tapi keluarga yang utuh dan saling percaya. Karena sebesar apa pun harta yang diwariskan, kalau hati saling menjauh, tak ada artinya. Sebaliknya, harta bisa dicari lagi—tapi kedamaian di antara saudara adalah sesuatu yang tak ternilai.

Semoga kisah ini jadi pengingat bagi kita semua: bahwa harta memang penting, tapi cara kita membaginya dan menyikapinya jauh lebih penting lagi.

Postingan populer dari blog ini

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo