Etika Bermedia Sosial
Isu penting tentang etika bermedia sosial dan tanggung jawab publik terhadap ujaran kebencian atau penghinaan.
Ketika seseorang diberi panggung (misalnya, dengan menyebarluaskan unggahan mereka, mengomentari, atau memberi respons emosional), dan kontennya bersifat menghina atau merendahkan individu lain, maka secara tidak langsung kita ikut memberi validasi dan amplifikasi terhadap perilaku itu. Hal ini bisa memperkuat narasi bahwa penghinaan itu wajar atau bahkan layak dibenarkan, apalagi jika banyak orang ikut bersorak.
Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
-
Platform adalah panggung: Media sosial memberi kekuatan kepada siapa pun untuk berbicara. Tapi kita juga punya kendali untuk memilih siapa yang layak didengar.
-
Popularitas ≠ Kebenaran: Hanya karena banyak orang setuju atau menonton, bukan berarti hal itu benar atau layak.
-
Konsekuensi sosial penting: Jika seseorang terus diberikan panggung meskipun menyebar ujaran kebencian atau penghinaan personal, ini bisa mendorong budaya kekerasan verbal dan ketidakpedulian.
-
Respons yang sehat: Daripada memberikan atensi pada orang tersebut, lebih bijak untuk melaporkan, membatasi penyebaran, atau mengedukasi audiens tentang mengapa perilaku itu bermasalah.
Kesimpulannya: Jika seseorang terus menerus menggunakan media sosial untuk menghina dan merendahkan orang lain, dan mendapat pembenaran karena popularitas, maka memberi panggung justru memperburuk keadaan. Sangat layak untuk mempertimbangkan mencabut "panggung" tersebut, baik melalui unfollow, blokir, tidak memberi interaksi, atau melapor ke platform yang bersangkutan.