Fenomena Pecahan Harga
Fenomena ini sebenarnya mencerminkan perbedaan sistem dan pendekatan antara warung tradisional dan gerai modern seperti minimarket atau supermarket.
Berikut beberapa alasan dan penjelasannya:
1. Pecahan Harga di Warung Tradisional
- Pragmatisme: Warung cenderung membulatkan harga ke nominal pecahan besar (500 atau 1.000 rupiah) karena keterbatasan uang kembalian dan untuk mempermudah transaksi tunai.
- Efisiensi waktu dan tenaga: Membulatkan harga menghindari repotnya mencari kembalian receh.
- Fleksibilitas Sosial: Warung sering mengandalkan kepercayaan dan hubungan sosial, jadi pembulatan harga dianggap wajar dan dimaklumi kedua belah pihak.
2. Pecahan Harga di Minimarket/Supermarket
- Strategi Psikologis Harga: Harga seperti Rp 9.900 atau Rp 12.450 dipakai untuk memberi kesan harga lebih murah, meski selisihnya sedikit.
- Sistem Terotomatisasi: Kasir menggunakan sistem digital yang menghitung harga sampai satuan terkecil. Namun, ini bisa jadi rumit jika pembeli membayar tunai.
- Donasi Kembalian: Karena sering tidak ada uang logam kecil, konsumen ditawari opsi untuk mendonasikan kembalian. Ini jadi semacam solusi praktis, sekaligus bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan.
3. Pembayaran Digital Memudahkan
- Dengan QRIS, kartu debit/kredit, atau e-wallet, transaksi bisa dilakukan persis sesuai harga tanpa peduli pecahan. Tidak ada persoalan "tidak ada uang kecil" atau donasi tidak disengaja.
- Akomodasi sistem digital juga memberi transparansi dan efisiensi.
Refleksi Sosial-Ekonomi
Fenomena ini juga menunjukkan perbedaan antara:
- Ekonomi informal (warung) yang menyesuaikan dengan kondisi lokal dan kemampuan masyarakat.
- Ekonomi formal (gerai ritel modern) yang mengikuti sistem baku dan strategi bisnis skala besar.