Demokrasi atau Kebebasan Berpendapat
Demokrasi memang memberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat, termasuk kritik terhadap pemerintah atau kebijakan publik. Tapi kebebasan itu bukan tanpa batas. Ia berhenti ketika mulai melanggar hak dan martabat orang lain.
Sering kali, orang yang melakukan penghinaan atau ujaran kebencian berlindung di balik dalih "kritik". Padahal, kritik yang sehat itu berbasis argumen, fakta, dan bertujuan membangun. Menghina orang secara pribadi, merendahkan keluarganya, atau menyerang karakter secara tidak berdasar adalah bentuk kekerasan verbal, bukan kritik.
Dalam konteks akademik maupun digital, banyak yang menyalahgunakan konsep "kebebasan berekspresi" untuk menyebarkan meme atau konten yang sebenarnya sudah melanggar norma, etika, kesopanan, bahkan kesusilaan. Mereka berlindung di balik dalih kritik sosial, satir, atau "kebebasan akademik", padahal substansinya tidak lagi mendidik atau membangun, melainkan justru merendahkan dan mencemarkan nama baik orang lain.
Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina, mempermalukan, atau menyerang pribadi orang lain. Ketika ekspresi berubah menjadi alat untuk menjatuhkan martabat seseorang—terlebih dengan cara yang viral dan tanpa pertanggungjawaban—itu bukan lagi bagian dari diskursus sehat, melainkan bentuk kekerasan simbolik.
Apalagi di era digital, meme menyebar lebih cepat dari klarifikasi atau kebenaran. Efeknya bukan cuma reputasi yang rusak, tapi bisa berujung pada depresi, perpecahan sosial, bahkan konflik hukum.
Ironisnya, ketika pelaku dihukum atau ditegur, mereka mengklaim sedang "dikriminalisasi". Padahal yang dikriminalisasi adalah tindakannya, bukan pendapatnya—karena ia sudah melewati batas hukum dan etika. Kalau posisi dibalik, dan mereka atau keluarganya yang jadi sasaran hinaan personal di publik atau media sosial, pasti akan merasa tersakiti juga. Jadi, prinsipnya sederhana: gunakan kebebasan berbicara dengan tanggung jawab dan empati.
.