Tuhan Yang Dimadukan

sebuah negeri yang dulu sujudnya seirama dengan detak azan, hiduplah seorang lelaki tua bernama Malik. Ia penjaga surau terakhir yang masih berdiri di tengah hiruk-pikuk bangunan tinggi dan papan-papan iklan yang bercahaya lebih terang dari bulan.


“Dulu, setiap maghrib, langit bersyahadat bersama kami,” katanya pada seorang anak kecil yang duduk di sampingnya.


Anak itu menatap heran. “Sekarang kenapa tidak, Pak?”


Malik tersenyum pahit. “Karena Tuhan kita dimadukan oleh yang lain.”


Si anak tak mengerti.


Maka Malik menunjuk ke arah menara tinggi yang memutar musik bukan azan, ke pasar yang lebih ramai dari saf salat, dan ke layar-layar kaca yang kini menjadi kiblat baru. “Mereka masih menyebut nama-Nya,” katanya. “Tapi hatinya telah terpaut pada dunia. Tuhan tetap Esa, tapi disandingkan dalam hati yang mendua.”


Dalam mimpi-mimpinya, Malik sering melihat surau itu menangis. Atapnya bocor bukan karena hujan, tapi karena dzikir yang mulai hening. Lantainya berdebu bukan karena angin, tapi karena sajadah yang tak lagi disentuh dahi. Dan Tuhan—dalam mimpi itu—berdiri di ambang pintu, menunggu, tak pernah marah, hanya menatap dengan mata yang tahu semua.


Malam itu, Malik wafat dalam sujudnya. Anak kecil itu kini tumbuh besar, menjaga surau yang hampir runtuh. Ia menolak memadukan Tuhannya dengan yang lain. Sebab ia tahu, di akhir zaman, menjaga cinta yang lurus kepada-Nya adalah bentuk jihad yang paling sunyi—dan paling suci.

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor