Contoh Monolog Tentang Apatis
Versi monolog puitis dari cerita Ana, cocok jika ingin dibaca dalam satu napas perenungan:
---
Dulu aku datang dengan semangat, membawa harapan bahwa tempat ini akan jadi ruang tumbuh—bukan hanya untuk karier, tapi juga untuk jiwa.
Aku percaya kerja bisa jadi tempat yang hangat, tempat kita saling dukung, saling jaga. Tapi ternyata, yang hangat hanya kopi pagi. Sisanya—penuh sandiwara dan suara-suara yang tak jujur.
Aku pernah mencoba menyatu, ikut dalam tawa yang terdengar riang, walau kadang terasa hampa.
Pernah juga merasa sakit ketika kebaikan dibalas curiga, ketika diamku dimaknai salah.
Lama-lama aku lelah. Bukan marah, hanya lelah.
Jadi aku memilih diam.
Menarik diri tanpa drama, tanpa pengumuman.
Datang, kerja, pulang.
Selesai.
Aku bukan tidak peduli. Aku hanya memilih untuk tak lagi memberi energi pada yang tak memberi kembali.
Tempat ini bukan rumah, hanya persinggahan untuk menunaikan tugas.
Aku tak butuh lingkaran yang semu, cukup ruang untuk bernapas tanpa tekanan.
Dan di sini, dalam sunyiku yang tenang, aku bekerja.
Tanpa berharap dimengerti, tanpa ingin diingat.
Karena aku tahu, yang benar-benar penting... adalah tetap waras.
---