Ketika Tuhan Tergantikan
Dalam sejarah panjang peradaban, sering kali kita menemukan kisah di mana Tuhan yang kita sembah tidak lagi hadir sebagai sosok yang kita kenal sejak mula. Perlahan, sosok-Nya tergantikan, dimasukkan oleh tangan-tangan lain yang membawa nama-Nya, namun tidak mengenalkan wajah-Nya. Tuhan kita dimasukkan oleh yang lain — bukan melalui perang senjata, melainkan melalui narasi, dogma, dan sistem yang dibangun dengan rapi.
Mereka datang bukan untuk merusak, tapi untuk menggantikan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keyakinan yang diselundupkan perlahan. Maka lahirlah generasi yang tak lagi mengenal Tuhan sebagaimana nenek moyang mereka mengenalnya. Yang tersisa hanya nama-Nya, namun jiwanya telah lama diganti.
Bukan karena Dia kurang mencinta, tapi karena kita yang mulai lupa cara mencintai-Nya. Di tanah ini, di antara sunyi doa yang mulai kehilangan makna, ada bisikan-bisikan asing yang perlahan kita anggap suci. Nama-Nya masih disebut, tapi bukan dengan hati. Wujud-Nya masih dicari, tapi bukan dalam keheningan yang sejati.
Yang lain datang membawa janji — kemakmuran, keselamatan instan, surga tanpa usaha. Kita pun silau. Lalu, kita kenalkan Tuhan kita dengan “yang lain,” dan dalam diam kita ijinkan hati kita mendua.
Tuhan kita tak pernah pergi. Tapi kita yang menjauh, dengan membiarkan cinta-Nya dimadukan oleh keyakinan yang tak lagi jernih. Dan dari kejauhan, Dia masih menunggu, seperti kekasih yang setia, meski telah dikhianati berulang kali.