Pungli Merusak Citra Wisata Lokal
Tempat wisata seharusnya menjadi ruang rekreasi yang menyenangkan, terjangkau, dan mudah diakses oleh semua kalangan. Namun sayangnya, masih banyak destinasi wisata di Indonesia yang dicederai oleh praktik pungutan liar—khususnya di akses jalan menuju lokasi.
Pemandangan seperti ini sudah terlalu sering terjadi: pengunjung baru saja memasuki jalan menuju pantai, air terjun, atau kawasan perbukitan, lalu tiba-tiba dihadang oleh sekelompok orang yang meminta “uang masuk”. Tidak ada tiket resmi, tidak ada petugas dari dinas pariwisata, hanya selembar karcis fotokopian—atau bahkan tanpa karcis sama sekali. Jika tidak dibayar, kendaraan dihalangi, kadang dengan sikap kasar.
Praktik seperti ini tidak hanya merugikan wisatawan, tetapi juga merusak citra daerah itu sendiri. Orang jadi enggan kembali, dan lebih memilih wisata ke tempat lain yang lebih tertib. Bahkan, pengalaman buruk semacam ini mudah menyebar melalui media sosial, yang pada akhirnya berdampak buruk terhadap sektor pariwisata lokal secara keseluruhan.
Pungutan liar ini mencerminkan masalah yang lebih dalam: lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah, tidak adanya pengelolaan wisata yang profesional, serta minimnya pendidikan hukum di tingkat masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini akan terus menjadi “budaya” yang merugikan banyak pihak—terutama warga sekitar yang menggantungkan penghasilan dari sektor pariwisata.
Sudah waktunya pemerintah daerah mengambil tindakan tegas. Pengelolaan tempat wisata harus dilakukan secara resmi dan transparan, dengan tiket masuk yang sah, petugas yang jelas identitasnya, serta fasilitas yang memang layak untuk dikenai biaya. Jalan umum tidak boleh dijadikan ladang pungli oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Pariwisata bukan hanya soal keindahan alam, tetapi juga kenyamanan dan keadilan dalam mengaksesnya. Jika kita ingin tempat wisata kita maju dan membawa manfaat ekonomi yang adil bagi semua, maka pungutan liar harus dihentikan—tanpa kompromi.