Antara Kepercayaan dan Harapan – Mengapa Koperasi Masih Diminati Meski Banyak Kasus
Meski berulang kali muncul kasus dana koperasi yang dibawa kabur, pengelolaan yang tak transparan, atau dana modal yang tak pernah sampai ke tangan anggota, koperasi tetap menjadi pilihan banyak orang. Fenomena ini bukan semata soal kurangnya informasi atau naifnya masyarakat, tetapi mencerminkan kombinasi antara kepercayaan yang mengakar dan harapan yang terus tumbuh.
Pertama, koperasi—secara ideologis—lahir dari semangat gotong royong dan solidaritas. Banyak orang, terutama di daerah, masih memegang teguh nilai-nilai kolektif dan percaya bahwa koperasi adalah bentuk usaha bersama yang adil dan bersahabat. Ini bukan sekadar lembaga keuangan, tapi representasi harapan untuk bangkit bersama.
Kedua, akses perbankan formal masih belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro dan individu di pelosok. Koperasi menjadi jembatan yang terasa lebih “dekat”, tidak seketat bank, dan lebih mudah dalam hal persyaratan. Di sinilah letak daya tariknya, meski di balik kemudahan itu, risiko pengelolaan longgar kadang luput dari perhatian.
Ketiga, tidak semua koperasi bermasalah. Masih banyak koperasi yang dikelola dengan jujur dan profesional. Sayangnya, citra koperasi sering tercoreng oleh segelintir oknum yang memanfaatkan celah hukum dan kepercayaan anggota. Dalam konteks ini, masyarakat cenderung memberi “kesempatan kedua”, berharap bahwa koperasi yang mereka ikuti tidak akan bernasib sama dengan yang lain.
Namun, kepercayaan tanpa literasi keuangan dan pengawasan yang ketat bisa menjadi bumerang. Pemerintah dan masyarakat perlu lebih serius dalam membenahi sistem pengawasan koperasi, mendidik masyarakat tentang risiko, serta mendorong transparansi sebagai nilai utama.
Selama harapan akan usaha kolektif masih hidup, koperasi akan tetap dipercaya. Tapi kepercayaan itu hanya akan bermakna jika dibarengi dengan akuntabilitas.