Kita Semua Sedang Kehabisan Waktu
Setiap manusia yang lahir ke dunia, sejatinya sedang berjalan menyusuri waktu yang terus berkurang. Ini bukan hal yang kita sadari setiap hari, karena kesibukan dan rutinitas sering menutupi kenyataan bahwa waktu adalah sumber daya yang tak bisa diperbarui. Ia tidak bertambah, hanya berkurang.
Setiap hari yang kita lewati, bukanlah penambahan umur, melainkan pengurangan jatah hidup. Tubuh yang dulunya kuat perlahan menjadi ringkih. Kita menjadi seperti komputer yang usang: butuh servis, perbaikan, bahkan penggantian suku cadang agar tetap bisa berfungsi. Obat-obatan, terapi, operasi—semua upaya kita untuk memperpanjang fungsi fisik, agar raga bisa terus berjalan walau tidak lagi sempurna.
Namun menariknya, ada satu hal yang membuat manusia berbeda dari sekadar mesin: nyawa, atau lebih tepatnya, jejak yang kita tinggalkan. Ketika komputer rusak dan tak bisa lagi digunakan, data di dalamnya masih bisa diakses—ia menyimpan memori, catatan, file penting. Demikian juga manusia. Ketika raga tak lagi bernyawa, banyak dari kita tetap hidup dalam ingatan orang lain, dalam karya, dalam kebaikan, dalam luka, dalam cerita-cerita yang ditinggalkan.
Inilah alasan mengapa kita perlu sadar: waktu bukan hanya tentang detik yang berjalan, tetapi tentang bagaimana kita mengisinya. Karena cepat atau lambat, waktu kita akan habis. Yang tersisa hanyalah apa yang pernah kita lakukan saat masih diberi kesempatan.