Stasiun Kecil Bernilai Besar: Refleksi dari Cilebut di Tengah Hujan

Sore itu, hujan deras mengguyur Stasiun Cilebut. Air tumpah dari langit seperti tidak ada habisnya, disertai angin yang membuat payung pun tak berdaya. Saya berjalan dari parkiran kendaraan di dekat Alfamidi menuju stasiun dengan tubuh yang akhirnya basah kuyup, meskipun sudah memakai payung.

Namun bukan soal hujan yang ingin saya soroti. Di tengah derasnya cuaca dan kerumunan penumpang, saya justru merenungi betapa stasiun kecil seperti Cilebut menyimpan makna besar bagi ribuan orang. Di tengah guyuran hujan, stasiun ini tetap berdetak, tetap menjadi titik temu, tempat pulang, tempat harap.

Setiap pagi dan sore, stasiun ini tak ubahnya semut yang tumpah dari sarangnya—padat, sibuk, hidup. Penumpang datang dan pergi dalam alur yang teratur, menunjukkan betapa vitalnya peran transportasi massal murah seperti kereta listrik bagi masyarakat urban dan suburban.

Di sekeliling stasiun, denyut ekonomi mikro menggeliat. Warung-warung makanan, tukang ojek, penitipan motor, hingga gerai minuman ringan—semuanya hidup karena adanya lalu lintas manusia yang tak pernah berhenti. Bahkan rumah warga disulap menjadi tempat penitipan kendaraan, menciptakan pekerjaan baru di tengah sempitnya lapangan kerja formal. Belum lagi anak-anak kecil yang dengan cekatan menawarkan jasa ojek payung, meski hari itu banyak yang ditolak karena angin membuat payung tak berguna.

Saya berpikir, jika satu stasiun kecil seperti Cilebut saja bisa memberi penghidupan bagi begitu banyak orang, seharusnya kita bisa lebih serius menata dan memperhatikan ekosistem di sekitarnya. Transportasi publik bukan hanya soal rel dan gerbong. Ia soal manusia, penghidupan, dan koneksi sosial.

Sudah saatnya stasiun-stasiun seperti Cilebut tidak dipandang sebelah mata. Mereka adalah simpul-simpul kehidupan di kota-kota penyangga Jakarta. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu melihat lebih dalam, bahwa investasi di sektor transportasi publik bukan hanya soal mobilitas, tapi juga soal ekonomi rakyat dan pemerataan pembangunan.

Kereta listrik adalah salah satu moda paling murah dan efisien di negeri ini. Dengan tarif yang nyaris tak masuk akal murahnya, jutaan orang bisa mengakses pusat-pusat pekerjaan. Tapi mari kita akui juga, ekosistem pendukungnya belum sepenuhnya tertata. Penitipan kendaraan masih banyak yang tidak resmi, trotoar sempit atau tidak ada, dan penumpang sering kali harus berjuang sendiri menghadapi cuaca dan kerumunan.

Hujan sore itu membuka mata saya, bahwa stasiun seperti Cilebut adalah nadi kota-kota penyangga. Kita tak bisa terus berharap pada pusat kota. Pembangunan sejati harus menyebar—dimulai dari tempat-tempat sederhana yang nyatanya punya arti luar biasa.

Postingan populer dari blog ini

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo