P2P Lending – Peluang Investasi atau Jerat yang Menggoda?

Beberapa tahun terakhir, Peer to Peer Lending (P2P Lending) mulai populer sebagai salah satu alternatif investasi. Konsepnya menarik—mempertemukan langsung antara investor dengan peminjam melalui platform digital. Praktis, mudah, dan terdengar menjanjikan.

Saya pun sempat tertarik mencoba beberapa platform seperti Investree, Akseleran, Amartha, crowde hingga Modalku dan KoinWorks. Tujuannya sederhana: ingin tahu seperti apa sebenarnya cara kerja P2P Lending. Ingin tahu pendanaannya untuk jenis dan bentuk usaha yang memperoleh pendanaan. Sejumlah kecil dana saya tempatkan untuk mempelajari prosesnya—mulai dari memilih pendanaan, memahami tujuan pinjaman, hingga melihat bagaimana pelunasan dilakukan.

Namun kenyataannya tidak semua berjalan mulus. Ada beberapa pinjaman yang mengalami gagal bayar. Bahkan beberapa P2P lending sampai memperoleh pemberitaan di media. Berita mengenai gagal bayar. Mungkin karena dana yang saya tempatkan tidak besar, kerugian itu masih bisa saya anggap sebagai “biaya belajar”. Hitung-hitung biaya beli buku. 

Tapi bayangkan jika ada pendana yang masuk bukan sekadar dana kecil, melainkan jumlah besar—dan bukan karena riset yang matang, melainkan karena ikut-ikutan tren atau tergoda influencer. Entah promo, atau hanya sekedar pemberian informasi, ada di YouTube, Instagram dll. Ini kadang yang membuat orang menjadi tertarik. 

Nah, inilah yang menjadi kegelisahan saya.

Beberapa platform P2P Lending gencar menggandeng influencer untuk mempromosikan layanan mereka. Narasinya manis: "aman karena diawasi OJK", "return tinggi", "modal kecil bisa untung besar". Tak jarang, para influencer itu sendiri mengaku telah mendapatkan penghasilan pasif lewat P2P Lending. Jujur saja, saya sempat terpengaruh. Namun ketika memulai pendanaan, mulailah dengan uang yang anda sanggup suatu ketika uang tersebut hilang atau tidak kembali. 

Tapi setelah melihat beberapa kasus gagal bayar, saya mulai menyadari satu hal: P2P Lending tetaplah aktivitas berisiko tinggi. Apa pun yang berhubungan dengan utang-piutang selalu memiliki potensi masalah. Tidak semua peminjam bisa melunasi tepat waktu. Tidak semua platform punya sistem mitigasi risiko yang kuat. Dan pengawasan OJK bukan berarti jaminan 100% aman—itu hanya salah satu bentuk perlindungan regulasi, bukan asuransi.

Karena itu, saya berpendapat bahwa P2P Lending bukan untuk semua orang. Ia mungkin cocok bagi mereka yang:

  • Sudah paham risiko,
  • Mampu mendiversifikasi investasi,
  • Siap menerima kemungkinan gagal bayar,
  • Dan tidak gampang tergoda promosi manis.

Sayangnya, tidak semua orang berangkat dari kesadaran itu. Banyak yang justru terjun karena ikut-ikutan. Karena FOMO. Karena promosi dari tokoh yang mereka percaya.

Sebagai investor kecil, saya tidak anti terhadap P2P Lending. Tapi saya juga tidak akan mengagungkannya seolah-olah itu solusi masa depan keuangan. Bagi saya, ini adalah ladang eksperimen yang butuh kehati-hatian tinggi. Tidak masalah mencoba, tapi jangan sampai tergoda menaruh terlalu banyak hanya karena tampak menggiurkan di permukaan.

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor