Bangun Tidur: Anugerah yang Terlupakan
Setiap pagi, jutaan manusia di seluruh dunia terbangun dari tidurnya. Sebagian besar dari mereka segera beranjak menjalani rutinitas harian—mencuci muka, menyiapkan sarapan, mengecek ponsel, lalu pergi bekerja atau belajar. Aktivitas itu begitu biasa, seolah merupakan bagian otomatis dari kehidupan. Namun, sangat sedikit yang berhenti sejenak untuk merenung bahwa bangun dari tidur sebenarnya bukan hal yang sepele. Ia adalah sebuah anugerah besar yang kerap kita lupakan.
Bangun dari tidur adalah pertanda bahwa kita diberi kesempatan baru oleh Tuhan untuk melanjutkan hidup. Jantung kita masih berdetak, paru-paru kita masih berfungsi, dan nyawa masih bersemayam di tubuh kita. Tapi jika Tuhan berkehendak lain, bisa saja malam tadi menjadi malam terakhir kita di dunia. Kita bisa tertidur tanpa pernah terbangun lagi.
Ironisnya, kematian pun sering dianggap biasa. Ketika seseorang meninggal dalam tidurnya, reaksi umum adalah kalimat seperti, “Memang sudah waktunya.” Padahal, di balik kepasrahan itu, seharusnya ada kesadaran yang tumbuh: bahwa hidup ini rapuh, sementara, dan sangat bergantung pada kehendak Tuhan.
Sayangnya, kesadaran ini jarang berbuah syukur. Kita sibuk dengan rencana dan keluhan, tapi lupa mensyukuri hal-hal paling dasar, seperti napas yang masih mengalir atau mata yang masih bisa terbuka. Padahal, rasa syukur adalah bentuk pengakuan kita atas kebaikan Tuhan yang terus-menerus tercurah, bahkan saat kita tak memintanya.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Setiap bangun tidur adalah momen untuk bersyukur. Bukan sekadar mengucap “Alhamdulillah” atau “Puji Tuhan”, tapi benar-benar menyadari betapa berharganya kesempatan hidup yang kita miliki hari ini. Syukur tidak harus selalu dalam bentuk kata-kata besar; ia bisa hadir dalam tindakan kecil—menjaga kesehatan, berbuat baik, dan menggunakan waktu sebaik mungkin.
Bangun dari tidur adalah awal baru, dan awal yang sepatutnya disambut dengan hati yang penuh syukur. Sebab tak semua orang mendapatkannya hari ini.