Ketika Anak Bertanya: “Bagaimana Kalau Uang Korupsi Disumbangkan?
Suatu sore, saya berdiskusi dengan anak keempat saya yang masih duduk di bangku SMP. Dia anak yang pendiam, tidak banyak bicara, tetapi sering tenggelam dalam buku-buku yang saya sendiri tidak menyangka akan dibacanya. Mein Kampf, Madilog, bahkan beberapa buku sejarah dan filsafat politik pernah saya lihat ia rangkum dengan penuh semangat.
Lalu dia tiba-tiba bertanya, “Pak, bagaimana kalau uang hasil korupsi tidak dipakai sendiri, tapi disumbangkan?”
Saya sempat terdiam. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya, tapi karena saya tak menyangka pertanyaan seberat itu datang dari anak seusianya. Setelah menarik napas, saya jawab, “Tuhan menyukai hal yang baik. Maka yang diberikan atau disumbangkan pun harus berasal dari hal yang baik. Korupsi itu bukan hal baik, jadi uangnya pun tidak pantas dipakai, apalagi disumbangkan.”
Anak saya tampak merenung, lalu bertanya lagi, “Pak, bagaimana kita tahu bahwa itu suap? Kan orangnya gak bilang apa-apa waktu memberi?”
Saya jawab dengan perlahan, “Kalau kamu tidak punya jabatan, kekuasaan, atau posisi yang menguntungkan orang lain, apakah mereka akan tetap memberi? Kalau pemberian itu muncul karena kita memegang kuasa, maka sangat mungkin itu adalah suap—walau dibungkus dengan kata ‘hadiah’ atau ‘terima kasih’.”
Diskusi ini tidak berhenti di situ. Ia lanjut bertanya, “Kalau gak terima, terus kita dipecat gimana? Atau diturunkan dari jabatan karena orang itu punya jaringan luas?”
Saya pun menjawab dengan tenang, “Lebih baik kehilangan jabatan daripada kehilangan integritas. Kita harus percaya bahwa rezeki datang dari Tuhan, bukan dari manusia. Jabatan bisa dicabut, tapi harga diri dan keyakinan tidak boleh dijual."
Percakapan itu membuat saya merenung sepanjang sore. Betapa pentingnya ruang bagi anak untuk bertanya, bahkan untuk hal-hal yang rumit dan menyentuh wilayah abu-abu moral. Saya tidak ingin mereka tumbuh menjadi pribadi yang hanya “pintar”, tetapi juga benar. Dunia sudah terlalu penuh dengan orang-orang cerdas yang kehilangan kompas moralnya.
Saya juga percaya, integritas harus ditanam sejak dini — tidak melalui ceramah, tapi lewat dialog. Anak-anak kita sedang tumbuh dalam dunia yang cepat dan kompleks. Jika kita tidak memberi ruang untuk berpikir dan bertanya, mereka akan mencarinya di tempat lain — belum tentu dengan nilai-nilai yang benar.
Dan sore itu, saya belajar satu hal: kadang pertanyaan besar datang dari mulut yang kecil. Tugas kita bukan hanya menjawab, tapi juga menjaga nyala api keingintahuan mereka agar terus hidup.