Koperasi atau Kedok Penipuan? Waspadai Skema Ponzi Berkedok Koperasi
Koperasi sejak lama dikenal sebagai soko guru perekonomian rakyat. Ia lahir dari semangat gotong royong, saling percaya, dan berbagi manfaat di antara anggota. Namun kini, sayangnya, nama baik koperasi semakin tercoreng oleh praktik-praktik manipulatif yang mengatasnamakan koperasi hanya sebagai kedok investasi ilegal. Salah satu kasus yang mulai mencuat adalah Koperasi Buana Lintas Nusantara. Koperasi yang berlokasi di Jawa Tengah ini, khususnya wilayah Salatiga dan Boyolali, menghebohkan publik dengan adanya indikasi penipuan investasi.
Dengan jumlah anggota yang diklaim mencapai 40 ribu orang dan modal hingga lebih dari 3 triliun rupiah, koperasi ini tampak megah dari luar. Unit usahanya pun banyak—lebih dari 24 jenis usaha mulai dari showroom mobil, agen travel, hingga properti. Namun di balik tampilan luar itu, muncul pertanyaan serius: apakah benar ini koperasi sehat, atau sekadar skema ponzi terselubung?
Indikasi koperasi yang sehat adalah Pertama, koperasi ini memiliki Nomor Induk Koperasi (NIK), kedua koperasi secara rutin menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT), dan Koperasi memiliki izin resmi sebagai koperasi simpan pinjam dan usaha. Syarat-syarat tersebut adalah bentuk akuntabilitas dasar.
Hal yang paling mencolok sehingga koperasi teridentifikasi menjadi tidak sehat adalah janji pengembalian (return) tinggi kepada anggota—jauh di atas bunga perbankan.
Dalam logika ekonomi sederhana, tidak ada bisnis riil yang bisa memberikan keuntungan besar secara konsisten tanpa risiko tinggi. Apalagi jika dana masyarakat dihimpun dengan janji imbal hasil, tanpa kejelasan sumber keuntungan. Ini sangat menyerupai pola skema Ponzi, di mana uang dari anggota baru digunakan untuk membayar keuntungan anggota lama—hingga suatu saat akan kolaps, meninggalkan kerugian massal.
Yang membuat kasus seperti ini semakin menyedihkan adalah siapa yang menjadi korban. Ibu rumah tangga, pensiunan, buruh, pedagang kecil—mereka yang seharusnya dilindungi justru menjadi sasaran empuk. Daya tarik pengembalian besar kerap membutakan kewaspadaan, apalagi bila dibungkus dengan kata-kata “koperasi”.
Sudah terlalu banyak kasus serupa terjadi: KSP Indosurya, Koperasi Sejahtera Bersama, Koperasi Pandawa—semuanya menjanjikan hal serupa dan berujung tragis. Negara memang tengah berupaya menertibkan, tapi perlu disadari: penegakan hukum selalu tertinggal dari modus penipuan yang terus berkembang. Penipuan selangkah lebih maju, mencari celah yang bisa di ambil. Setiap celah dicoba untk ditutupi maka akan muncul celah lain, begitu seterusnya.
Karena itu, saatnya kita bersuara. Masyarakat harus lebih kritis. Pemerintah Pusat, terutama Kementerian Koperasi dan UKM serta OJK, Pemerintah Daerah dengan Dinas Koperasinya, harus lebih proaktif menyelidiki koperasi-koperasi yang mencurigakan. Jangan menunggu sampai ribuan orang kehilangan seluruh tabungannya. Dan yang paling penting: jangan lagi kita membiarkan semangat koperasi dicuri oleh penipu berkedok kemitraan.