Budaya Serobot: Ketika Ketidaksabaran Menjadi Kebiasaan Kolektif

Di banyak kota besar, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya bahkan kota Bogor pun, kita sering menyaksikan fenomena yang sayangnya sudah dianggap “biasa”: pengendara yang melawan arus, menerobos lampu merah, menyerobot antrean, bahkan memblokir jalan lawan arah demi "kecepatan" pribadi. Marka jalan hanya dianggap sebagai lukisan jalanan, bukan panduan. Rambu lalu lintas sekadar dekorasi. Ketertiban seolah menjadi pilihan, bukan kewajiban.

Ironisnya, semua pelanggaran ini dilakukan atas nama efisiensi waktu. Namun kenyataannya, justru menciptakan kemacetan yang lebih parah, kekacauan, bahkan konflik antar pengguna jalan. Budaya serobot lahir dari ketidaksabaran, dan lebih buruk lagi—ia tumbuh subur karena kurangnya penegakan hukum dan rendahnya rasa empati.

Apa yang salah dari menunggu giliran? Mengapa menghormati aturan kini dianggap “kuno” atau bahkan “bodoh”? Ketika orang berlomba-lomba mencari jalan pintas—secara harfiah dan kiasan—maka yang dikorbankan adalah kepentingan bersama. Jalanan menjadi cerminan karakter masyarakat. Cerminan masyarakat yang kurang literasi. Masyarakat yang hanya takut ketika ada razia. Lalu jika di jalan saja kita dengan mudah menyerobot, apakah dalam kehidupan sosial dan profesional pun kita tak segan mendahului hak orang lain?

Sudah saatnya kita mengubah pola pikir. Tertib bukan soal takut ditilang, melainkan cermin dari sikap hormat kepada sesama. Jalan bukan hanya milikmu. Sabar bukan kelemahan. Dan mengikuti aturan bukan hal memalukan—justru itulah wujud keberadaban.

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor