Ilmu Tanpa Adab: Krisis Moral di Era Kebebasan Berpendapat

Di zaman sekarang, orang pintar bukanlah hal langka. Gelar akademik diraih dengan mudah, akses terhadap ilmu pengetahuan terbuka lebar. Namun, satu hal yang semakin langka: adab. Kita menyaksikan betapa banyak orang yang pandai bicara soal agama, namun perilakunya jauh dari ajaran yang dia dakwahkan. Ilmu agama hanya jadi angka—hafalan ayat, hitungan pahala, dalil-dalil yang diucapkan tanpa penghayatan. Implementasinya nihil.

Fenomena ini sangat kentara dalam ruang publik. Saat demonstrasi berlangsung, tak jarang kita dengar makian dan kata-kata kotor. Di media sosial, lebih parah lagi—penghinaan, serangan personal, bahkan doxing kerap terjadi, semua atas nama “kebebasan berpendapat.” Seolah-olah kebebasan itu memberi izin untuk merendahkan martabat orang lain.

Padahal, tidak ada satu pun agama yang membenarkan cara-cara seperti itu. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya mengajarkan kasih sayang, penghormatan terhadap sesama, dan cara menyampaikan pendapat dengan beradab. Sayangnya, banyak yang hanya berlindung di balik simbol agama, namun melupakan esensi dari ajarannya.

Kita harus jujur mengakui bahwa kebebasan berpendapat yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab moral hanya akan melahirkan kekacauan. Kebebasan bukan berarti bebas menyakiti. Ilmu tanpa adab justru membahayakan, karena memberi kuasa kepada seseorang untuk membenarkan apa pun yang ia lakukan atas nama kebenaran versinya sendiri.

Sudah saatnya kita kembali menata ulang cara berpikir. Ilmu adalah cahaya, tapi tanpa adab, cahaya itu bisa membakar. Mari kita bangun peradaban, bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan etika dan budi pekerti. 

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor