Ormas Memungut Restribusi : Antara Kebutuhan dan Pelanggaran

Belakangan ini, praktik pungutan oleh organisasi masyarakat (ormas) di tempat-tempat umum maupun akses menuju tempat wisata semakin sering terjadi. Mereka berdiri dengan atribut lengkap, membawa kwitansi, dan menyebut pungutan itu sebagai "retribusi sukarela", "biaya keamanan", atau "kontribusi lingkungan". Sayangnya, banyak dari kegiatan ini tidak memiliki dasar hukum atau izin resmi dari pemerintah daerah.

Masalahnya bukan hanya pada uang yang ditarik, tapi pada cara dan konteksnya: dilakukan di jalan umum, tanpa transparansi, tanpa pengelolaan akuntabel, dan sering kali disertai tekanan psikologis atau intimidasi. Masyarakat—baik pengunjung maupun pelaku usaha lokal—sering kali membayar karena takut, bukan karena setuju.

Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal prinsip tata kelola publik. Jalan umum dan fasilitas publik dikelola oleh negara, bukan oleh ormas manapun. Jika ormas ingin terlibat dalam pengelolaan atau keamanan tempat wisata, mereka harus bekerja sama dengan pemerintah secara legal dan terbuka, bukan bertindak sendiri dan membebani masyarakat.

Ironisnya, praktik seperti ini sering kali dibiarkan—bahkan oleh aparat—karena alasan stabilitas sosial. Tapi jika pembiaran terus terjadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah juga akan luntur. Ini menciptakan preseden buruk: siapa pun yang merasa kuat bisa memungut uang di ruang publik.

Kita tidak bisa membangun pariwisata yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan jika dikelilingi praktik-praktik pungutan liar berkedok ormas. Pemerintah harus bertindak: menertibkan, memberikan edukasi hukum, serta membuka ruang kerja sama legal bagi ormas yang benar-benar ingin membantu.

Retribusi harus resmi, adil, dan berdasarkan hukum—bukan intimidasi.

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor