Mengapa Pemerintah Daerah Bisa Defisit?
Beberapa waktu lalu, ada pemberitaan mengenai pemerintah daerah yang mengalami defisit anggaran yang cukup besar. Defisit anggaran yang dialami sejumlah pemerintah daerah akhir-akhir ini memunculkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah daerah bisa mengalami kekurangan anggaran hingga begitu besar? Apakah ini akibat salah kelola keuangan, ketidakmampuan mendorong penerimaan daerah, atau karena beban belanja pegawai yang terlalu berat? Ataukah karena tidak adanya perencanaan yang matang dalam pengelolaan anggaran daerah?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyebab defisit anggaran biasanya merupakan kombinasi dari berbagai faktor.
Pertama, belanja pegawai yang terlalu tinggi menjadi beban utama. Banyak pemerintah daerah mengalokasikan lebih dari separuh APBD-nya untuk gaji, tunjangan, dan honorarium ASN maupun non-ASN. Beban ini menjadi semakin berat jika tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi birokrasi.
Kedua, lemahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi tantangan tersendiri. Ketergantungan terhadap dana transfer dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), sangat tinggi. Padahal, banyak potensi PAD yang belum tergarap maksimal—baik dari sektor pajak, retribusi, maupun pengelolaan aset daerah.
Ketiga, perencanaan yang tidak matang menjadi faktor yang memperparah kondisi. Target pendapatan sering dibuat terlalu optimis, sementara program belanja tidak jarang bersifat seremonial dan tidak berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Akibatnya, saat realisasi pendapatan tidak sesuai harapan, defisit pun tak terhindarkan.
Lalu, bagaimana daerah tetap bisa berjalan di tengah defisit?
Ada beberapa langkah konkret yang bisa dan harus dilakukan.
Pertama, pemerintah daerah harus melakukan audit internal dan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh program dan belanja. Mana yang benar-benar prioritas harus dipertahankan, sementara yang tidak produktif harus segera dipangkas atau ditunda.
Kedua, optimalisasi PAD tidak bisa ditawar lagi. Pemerintah daerah harus lebih kreatif dan inovatif dalam menggali potensi lokal, memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi pemungutan pajak, serta membina kerja sama dengan sektor swasta dan BUMDes.
Ketiga, perlu refocusing anggaran ke program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar. Anggaran perjalanan dinas, kegiatan seremonial, atau proyek-proyek yang tidak mendesak harus dikaji ulang.
Terakhir, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan mendorong efisiensi penggunaan anggaran.
Defisit anggaran memang tidak bisa dihindari dalam beberapa situasi. Namun dengan manajemen keuangan yang baik, perencanaan yang matang, serta kepemimpinan yang berani dan transparan, pemerintah daerah tetap bisa berjalan bahkan dalam kondisi fiskal yang berat. Yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan seefektif dan seakuntabel mungkin.