Kembalian Receh: Antara Warung dan Minimarket

Pernahkah Anda sadar bahwa saat berbelanja di warung, harga barang cenderung dibulatkan ke pecahan besar? Misalnya, Rp 1.000 atau Rp 2.500. Jarang sekali kita menemukan harga seperti Rp 1.300 atau Rp 2.750. Ini bukan karena barangnya tidak bisa dihargai demikian, melainkan karena warung sering kali tidak punya uang receh untuk kembalian. 

Di sisi lain, minimarket atau supermarket justru kerap memberikan harga dengan pecahan tak genap—Rp 3.900, Rp 7.250, Rp 12.450. Ujung-ujungnya, saat membayar tunai, kita sering diminta untuk menyumbangkan kembalian yang jumlahnya kecil. Dan kita pun, dengan setengah pasrah, mengangguk.

Fenomena ini menarik karena mencerminkan dua dunia yang berbeda. Warung tradisional bersandar pada prinsip kepraktisan. Mereka tahu, tidak semua orang membawa uang pas, dan menyediakan kembalian receh bukan hal mudah. Maka, membulatkan harga jadi jalan tengah yang memudahkan semua pihak. Transaksinya bersifat cair, penuh kompromi, dan seringkali dibungkus relasi sosial. Kadang, kalau tak ada kembalian, kita diberi permen. Kadang, malah dicatat dulu dan dibayar nanti.

Minimarket dan supermarket, di sisi lain, beroperasi dengan sistem yang terotomatisasi. Harga disusun bukan hanya untuk mencerminkan nilai barang, tapi juga untuk menciptakan ilusi psikologis—harga Rp 9.900 terasa lebih murah dari Rp 10.000, walaupun hanya terpaut seratus rupiah. Di balik efisiensi itu, ada jebakan kecil: sistem tidak fleksibel, dan uang kecil jadi penting. Tapi saat kasir bilang, “Kembaliannya dua ratus, boleh didonasikan?” kita sering tak punya pilihan lain. Praktis, iya. Namun dengan perasaan yang agak terpaksa. 

Lalu apakah ada solusinya untuk pembelanjaan di minimarket atau supermarket? Ada, yakni lewat Pembayaran digital. Lewat QRIS, kartu debit, atau e-wallet, masalah receh lenyap. Kita bayar sesuai harga, tanpa pusing mencari koin atau menerima permen pengganti. Teknologi mengambil alih celah-celah kecil yang selama ini diisi oleh kompromi manual. Namun tidak semua orang melakukan pembayaran digital, lebih menyukai pembayaran manual. Ini yang harus diperhatikan oleh pihak minimarket atau supermarket. 

Namun demikiab, yang menarik adalah bagaimana perbedaan ini mencerminkan lebih dari sekadar soal uang kembalian. Ia menggambarkan bagaimana sistem ekonomi informal dan formal berinteraksi dengan kenyataan. Warung mengandalkan kelenturan sosial; minimarket mengandalkan sistem yang terstandardisasi. Satu mengutamakan hubungan, yang lain mengutamakan efisiensi.

Maka, saat Anda kembali ditanya soal donasi kembalian di kasir, atau menerima permen dari ibu warung, ingatlah: setiap receh punya cerita, dan setiap kembalian mengungkap cara kita hidup dan bertransaksi di dunia yang terus berubah. 


Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor