Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan: Sebuah Peringatan Tentang Bahaya Lisan
Ungkapan “fitnah lebih kejam dari pembunuhan” bukanlah sekadar kata-kata kosong. Ia mencerminkan betapa dahsyatnya dampak buruk dari menyebarkan kebohongan dan tuduhan tanpa dasar terhadap orang lain. Fitnah bukan hanya melukai secara batin, tetapi juga bisa menghancurkan reputasi, merusak hubungan, bahkan memecah belah masyarakat.
Fitnah menyakiti dua sisi: orang yang difitnah dan mereka yang percaya dan menyebarkannya. Korban fitnah bisa kehilangan kehormatan, kepercayaan, dan ketenangan hidup. Sedangkan orang-orang yang ikut menyebarkan fitnah tanpa tabayyun—tanpa klarifikasi—juga turut menanggung dosa karena telah menjadi bagian dari rantai penyebaran kebohongan.
Yang lebih menyedihkan, sekalipun pelaku fitnah akhirnya menyadari kesalahan dan meminta maaf, efeknya sering kali sulit ditarik kembali. Fitnah yang telah tersebar seperti bulu yang tertiup angin: mustahil dikumpulkan lagi seluruhnya. Maka, pencegahan menjadi satu-satunya jalan terbaik.
Dalam ajaran Islam, menjaga lisan dan kehormatan sesama adalah hal yang sangat ditekankan. Jika yang kita katakan tentang seseorang itu benar namun menyakitkan, itu disebut ghibah (menggunjing), yang tetap dilarang. Apalagi jika tidak benar, maka itu menjadi fitnah, yang dosanya lebih besar lagi. Keduanya sama-sama tercela.
Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an (QS Al-Hujurat: 12):
“...Dan janganlah menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik..."
Maka dari itu, kita semua hendaknya lebih berhati-hati dalam berbicara, apalagi menyangkut aib dan kehormatan orang lain. Tidak semua yang kita dengar harus kita sebarkan, tidak semua yang kita lihat harus kita komentari. Diam lebih baik daripada menyebar dosa.
Mari menjaga lisan, menjaga tangan, dan menjaga akhlak—terutama di era media sosial, di mana informasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran bisa mengejarnya.