Transparansi Halal dalam Penjualan Makanan adalah Kewajiban Moral

Belakangan ini, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh berita yang, sekilas, tampak sepele: penjualan ayam goreng. Namun, ternyata yang menjadi pusat perhatian bukanlah soal ayam gorengnya itu sendiri, melainkan bahan campuran dalam proses pembuatannya—khususnya pada bagian kremes—yang diduga mengandung unsur tidak halal. Dalam konteks negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti Indonesia, persoalan ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Ini bukan lagi sekadar urusan dagang, melainkan menyentuh ranah etika, kepercayaan, dan sensitivitas agama.

Setiap orang memang memiliki hak yang sama untuk berjualan, termasuk menjual makanan seperti ayam goreng. Tidak ada larangan dalam konstitusi atau hukum yang melarang siapa pun untuk membuka usaha kuliner selama tidak melanggar aturan yang berlaku. Namun demikian, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia—terutama dengan dominasi umat Muslim—ada norma sosial dan tanggung jawab moral yang harus dijunjung tinggi oleh setiap pelaku usaha makanan. Hal ini termasuk keterbukaan dan kejujuran dalam menyampaikan komposisi bahan makanan yang mereka jual.

Dalam kasus yang ramai diperbincangkan ini, muncul pernyataan dari pihak penjual bahwa ayam yang dijual adalah halal, hanya saja bagian kremes-nya mengandung bahan dari produk turunan babi. Pernyataan semacam ini tidak hanya membingungkan, tapi juga mengecewakan banyak konsumen. Mengapa? Karena dalam Islam, kehalalan makanan tidak hanya ditentukan oleh jenis dagingnya saja, melainkan seluruh bahan yang digunakan, proses pengolahannya, hingga peralatan yang dipakai. Produk turunan dari babi—seperti minyak babi, gelatin babi, atau enzim tertentu—tetap dikategorikan haram, meskipun digunakan dalam jumlah yang sangat kecil.

Apalagi, dalam praktik industri makanan, sangat sulit menjamin bahwa bahan halal dan non-halal benar-benar diproses di tempat yang terpisah secara higienis. Tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, konsumen tidak bisa memastikan apakah ada kontaminasi silang dalam dapur atau area pengolahan. Ketika pelaku usaha tidak memberikan informasi yang jelas, maka sesungguhnya mereka mengambil hak konsumen untuk menentukan pilihan berdasarkan keyakinan mereka. Ini bukan hanya melanggar etika bisnis, tapi juga mencederai rasa kepercayaan yang telah dibangun antara penjual dan pembeli.

Sebagai solusi dan bentuk tanggung jawab, pedagang makanan yang menggunakan bahan tidak halal semestinya menyampaikan informasi secara terbuka dan jujur. Kalau perlu menutup usahanya karena adanya ketidakjujuran dalam proses produksinya. Pengusaha tersebut dimasukkan dalam daftar blacklist untuk tidak masuk dalam usaha kuliner. Untuk selanjutnya agar tidak terulang kembali maka tiap usaha harus mencantumkan informasi yang transparan. Sediakan papan pemberitahuan yang mencantumkan bahwa makanan mengandung unsur non-halal, baik daging maupun bahan pendukung lainnya. Hal ini bukan hanya bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga wujud penghormatan terhadap keberagaman dan keyakinan masyarakat. Sikap seperti ini justru akan dihargai, karena kejujuran dalam berdagang adalah fondasi dari usaha yang berkelanjutan.

Selain itu, jika sudah terjadi kesalahan atau miskomunikasi dalam informasi produk, maka permintaan maaf yang tulus jauh lebih bermakna dibandingkan pembelaan yang cenderung mengaburkan fakta. Pedagang tidak perlu takut kehilangan pembeli jika jujur sejak awal. Kejujuran akan produk yang dijual membuat pembeli dapat menentukan pilihannya. Konsumen Indonesia semakin cerdas dan menghargai integritas. 

Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran penting, bukan hanya bagi satu penjual, tetapi juga bagi seluruh pelaku usaha kuliner di Indonesia. Dalam dunia usaha makanan, transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan. Bukan sekadar soal sertifikasi halal, tapi soal tanggung jawab moral kepada konsumen.

Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama bahwa bisnis yang baik tidak hanya menjual rasa, tetapi juga menjual kepercayaan. Dan kepercayaan hanya bisa dibangun di atas dasar kejujuran dan rasa hormat terhadap sesama.

Postingan populer dari blog ini

SMK SMAKBO baru

Durian Kabupaten Purworejo

Parkir Kendaraan Bermotor di Stasiun Bogor