Jajanan Masa Lalu di Ujung Jalan Pengadilan Bogor
Sabtu pagi, 31 Mei 2025, saya berjalan-jalan ke Pasar Anyar, salah satu denyut nadi Kota Bogor yang tak pernah benar-benar sepi. Di ujung Jalan Pengadilan, saya menemukan pemandangan yang menyentuh hati—seorang pedagang kue basah dengan gerobak dorong sederhana, menjajakan jajanan tradisional yang kini mulai langka: jongkong, putri noong, gurandil, putu mayang lupis nagasari, hingga cenil.
Kue jongkong yang lembut dengan rasa gurih manis, putri noong yang berwarna cerah, gurandil kenyal menggoda, nagasari berbalut daun pisang harum, lupis dan putu mayang disiram gula merah yang manis dan cenil dengan taburan kelapa parut.
Melihat jajanan itu, saya seolah dilempar kembali ke masa kecil. Masa ketika kue-kue ini bukan hanya makanan, tapi bagian dari keseharian—dibeli sepulang sekolah, disuguhkan saat arisan, atau dibawa saat berkunjung ke rumah saudara.
Jajanan masa lalu yang mungkin kini mulai asing di telinga generasi muda. Tapi di sini, di tengah hiruk pikuk pasar yang terus bergerak, mereka masih bertahan. Harganya pun terjangkau—ramah di kantong siapa saja yang ingin mencicipi sepotong nostalgia. Jajanan sederhana, tapi penuh cerita. Semoga mereka tetap ada, tetap dilestarikan, meski tak lagi sepopuler tren makanan zaman sekarang. Karena kadang, yang sederhana justru paling melekat dalam ingatan.
Di tengah euforia makanan kekinian yang viral di media sosial, keberadaan kue-kue tradisional seperti ini seakan tersisih. Padahal, selain kaya rasa, jajanan ini adalah warisan budaya kuliner yang layak dijaga dan dikenalkan kembali.
Saya berharap pemerintah daerah, pelaku UMKM, hingga masyarakat luas turut mendukung pelestarian kuliner tradisional ini—entah melalui festival, promosi di sekolah, atau dukungan terhadap pedagang kaki lima seperti bapak penjual tadi. Karena yang sederhana, yang kita anggap biasa-biasa saja, seringkali menyimpan makna yang paling dalam.