Ketika Jalan Umum Menjadi Ladang Pungli
Di sejumlah kota besar, belokan jalan—terutama yang berada di perempatan tanpa lampu lalu lintas—mulai “dikuasai” oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai “pengatur jalan”. Mereka berdiri di tengah arus lalu lintas, meniup peluit, mengarahkan kendaraan, bahkan kadang sengaja menutup jalur belok hanya agar pengendara berhenti dan bisa “diatur”. Tujuannya? Harap diberi uang receh sebagai bentuk “terima kasih”.
Masalahnya, tindakan ini bukan hanya meresahkan, tapi juga membahayakan. Mereka tidak memiliki wewenang untuk mengatur lalu lintas, tidak punya pelatihan keselamatan, dan tidak ada koordinasi dengan pihak berwajib. Lebih buruk lagi, sebagian dari mereka menunjukkan sikap tidak menyenangkan jika tidak diberi uang: membentak, melotot, atau bahkan menghalangi jalan.
Yang semula niat membantu, berubah jadi pemalakan terselubung.
Fenomena ini tumbuh karena pembiaran. Banyak dari kita memilih memberi agar cepat lewat dan tak ribut. Tapi lama-lama, praktik ini menjadi budaya—yang pada akhirnya menciptakan ketergantungan ekonomi yang salah dan lingkungan lalu lintas yang tidak tertib.
Pengaturan lalu lintas adalah tugas aparat, bukan perorangan yang mengandalkan uang pemberian. Jalan umum bukan milik siapa pun yang merasa paling dulu berdiri di situ. Justru tindakan seperti ini mengganggu alur kendaraan dan bisa menyebabkan kecelakaan.
Sudah saatnya pihak berwenang turun tangan. Penertiban harus dilakukan, bukan hanya demi kenyamanan pengendara, tetapi demi keselamatan semua pengguna jalan. Jika ada orang-orang yang memang berniat membantu, arahkan mereka ke pekerjaan yang layak dan terlatih—bukan dibiarkan berdiri di tengah jalan, menggadaikan keselamatan demi recehan.
Kita tidak menolak bantuan, tapi kita menolak pungli yang dibungkus pura-pura jadi “kebaikan”.