Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Kejujuran yang Tergerus di Balik Semangkuk Bakso

Kasus penjual bakso yang menggunakan daging babi tanpa mencantumkan keterangan jelas kepada pembeli kembali mencuat ke publik. Peristiwa tersebut terjadi di Yogyakarta. Peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran dalam dunia kuliner, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tindakan semacam ini jelas melukai sensitivitas keagamaan dan menyalahi prinsip dasar etika berdagang. Seorang pedagang semestinya memahami bahwa makanan bukan hanya soal rasa dan keuntungan, tetapi juga menyangkut keyakinan, kehalalan, dan kejujuran. Ketika bahan baku yang digunakan tidak diungkapkan secara terbuka, terutama dalam kasus yang menyentuh ranah agama, maka yang terjadi bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan bentuk penipuan. Pembeli memiliki hak untuk mengetahui apa yang mereka konsumsi dan memilih sesuai keyakinan mereka. Pembeli bisa mengajukan gugatan agar kejadian tersebut tidak terulang ditempat lain dan di masa mendatang....

Tamparan di Banten: Ketika Guru Dihukum karena Mendidik

Ada sebuah berita yang menggelitik sekaligus menyedihkan: Seorang Kepala Sekolah SMA di Banten menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah . Tak lama, ia justru dinonaktifkan dan dilaporkan ke polisi . Ironisnya, siswa-siswa lain malah mogok belajar , seolah tamparan itu lebih salah daripada perilaku merokok di sekolah. Pertanyaan pun muncul: Akan dibawa ke mana arah dunia pendidikan kita? Dulu: Tamparan yang Mendidik, Kini: Tamparan yang Menghukum Dulu, ketika seorang murid ditampar guru karena melanggar aturan, orang tua akan berkata, “Pantas kamu ditampar, Nak. Kamu memang salah.” Guru dan orang tua berdiri di barisan yang sama — barisan pendidik . Hukuman fisik memang bukan metode ideal, tetapi waktu itu, niat mendidik lebih dihargai daripada bentuk tindakan. Kini, segalanya terbalik. Guru dituduh, siswa dilindungi. Pendidik diadili, pelanggar dibela. Hukum dan publik seakan lupa bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat menempa karakt...

Mengapa Kepala Daerah Harus Taat pada Presiden

Dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut prinsip negara kesatuan, sudah semestinya kepala daerah menjalankan kebijakan nasional yang digariskan oleh presiden. Sayangnya, dalam praktiknya, kita sering menjumpai kepala daerah yang tampak tidak sejalan, bahkan menolak kebijakan pusat. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan disharmoni antarlevel pemerintahan, tetapi juga dapat menghambat pencapaian tujuan nasional. Otonomi daerah memang memberikan kewenangan yang cukup besar kepada kepala daerah. Namun, otonomi bukanlah bentuk kemerdekaan absolut. Kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjalankan program-program strategis nasional. Ketika kepala daerah menolak arahan pusat dengan dalih kemandirian, sesungguhnya mereka sedang melanggar amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya itu, ketidaktaatan kepala daerah terhadap presiden sering kali dipicu oleh motif politik, teruta...

Donor Darah, Kecil bagi Kita, Besar bagi Sesama

Sabtu kemarin saya kembali mengikuti donor darah di PMI Kota Bogor. Rutinitas sederhana ini selalu memberi rasa syukur dan lega setelah menjalaninya. Diawali dengan sarapan pagi, mengantar anak ke sekolah, di SMAKBO, lalu mampir sebentar olahraga jalan kaki di Lapangan Kresna, semuanya terasa seperti rangkaian persiapan kecil sebelum memberikan setetes manfaat bagi orang lain. Sesampainya di PMI, layanan sudah dibuka tepat pukul delapan pagi. Prosesnya kini semakin mudah—cukup mengisi data di komputer, menjawab beberapa pertanyaan kesehatan, lalu mencetak formulir. Nomor antrian saya keenam, dan tidak butuh waktu lama sebelum dipanggil untuk diperiksa dokter. Hasilnya cukup baik: tekanan darah 130/90, Hb 13,8, dengan berat badan 80,5 kilogram. Setelah dinyatakan layak, saya masuk ke ruang pengambilan darah, dan 350 cc darah pun diambil. Bagi saya pribadi, donor darah bukan hanya soal kesehatan, meski jelas ada manfaatnya bagi tubuh pendonor. Lebih dari itu, ada nilai kemanusiaan yang...

Permasalahan Pendampingan Koperasi

Pendampingan rutin dari dinas koperasi pemerintah daerah memang penting, tetapi masih adanya permasalahan di koperasi menunjukkan bahwa pendampingan tersebut sering kali belum efektif atau tidak menyentuh akar masalah. Beberapa penyebabnya antara lain: 1. Pendampingan Bersifat Administratif Saja Banyak dinas hanya memeriksa kelengkapan dokumen atau laporan secara formal, tanpa menyentuh aspek manajemen risiko, tata kelola, atau keuangan secara mendalam. 2. Kurangnya Sumber Daya dan Kompetensi di Dinas Beberapa dinas koperasi memiliki keterbatasan jumlah staf atau staf yang belum memiliki spesialisasi dalam audit keuangan, akuntansi, atau manajemen koperasi. 3. Minimnya Pengawasan dan Tindak Lanjut Pendampingan tanpa pengawasan yang tegas dan tindak lanjut atas temuan hanya akan menjadi formalitas. Pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti bisa menjadi kebiasaan buruk yang berulang. 4. Koperasi Tidak Terbuka atau Manipulatif Pengurus koperasi bisa saja menyajikan data yang manipula...

Penguatan Pengawasan Koperasi: Urgensi dan Strategi Nyata

Koperasi, sebagai sokoguru ekonomi kerakyatan, kini menghadapi tantangan serius: mulai dari gagal bayar, pengelolaan tidak transparan, hingga hilangnya kepercayaan anggota. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah pendampingan rutin dari dinas koperasi pemerintah daerah. Pertanyaannya: mengapa pengawasan yang sudah berjalan belum mampu mencegah keruntuhan sebagian koperasi? Masalahnya bukan pada ada atau tidaknya pendampingan, melainkan pada kualitas, cakupan, dan ketegasan pengawasan itu sendiri. Banyak pendampingan hanya bersifat administratif dan formalitas, tanpa menyentuh aspek keuangan, manajerial, dan risiko. Lebih parah lagi, masih banyak koperasi yang tidak diaudit oleh pihak independen dan profesional, sehingga potensi penyimpangan tak terdeteksi sejak dini. Untuk itu, pengawasan koperasi harus diperkuat secara sistematis. Pertama, dinas koperasi perlu meningkatkan kompetensi SDM pengawas melalui pelatihan dan sertifikasi. Kedua, audit independen wajib diberlakukan untuk kope...

Rasa Aman yang Memudar di Tengah Gejolak Sosial

Dalam teori hierarki kebutuhan dasar yang diperkenalkan Abraham Maslow, terdapat tahapan yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Setelah kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, dan istirahat terpenuhi, kebutuhan berikutnya yang tidak kalah penting adalah rasa aman. Rasa aman inilah yang menjadi pondasi bagi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan dengan tenang, membangun hubungan sosial, dan menumbuhkan rasa percaya pada lingkungannya. Namun, ketika rasa aman terganggu, seluruh struktur kebutuhan manusia seakan goyah. Peristiwa demonstrasi yang berujung anarkis dan penjarahan kemarin menjadi contoh nyata bagaimana satu peristiwa sosial dapat meruntuhkan rasa aman masyarakat. Korban langsung tentu merasakan luka, kerugian, bahkan trauma. Tetapi dampaknya tidak berhenti di situ. Mereka yang tidak menjadi korban langsung pun ikut merasakan bayangan ketakutan. Ada perasaan cemas yang mengendap di benak banyak orang: hari ini mungkin rumah atau toko ora...

Bekerja Adalah Jihad, Bukan Alasan untuk Dihakimi

Belakangan ada cerita tentang seseorang yang dikeroyok hanya karena diteriaki oleh orang-orang. Teriakan-teriakan yang cukup untuk memicu massa hingga melakukan kekerasan. Padahal, belum tentu benar yang diteriakan tersebut. Bisa saja keliru, namun orang tersebut langsung dihakimi massa. Padahal orang tersebut sedang lewat untuk bekerja mencari nafkah? Bekerja, di mana pun tempatnya dan apa pun statusnya, adalah bagian dari jihad. Jihad bukan semata-mata pertempuran, tetapi juga perjuangan untuk menafkahi diri sendiri, orang tua, dan keluarga. Setiap orang yang bekerja dengan cara halal sejatinya sedang menjalankan ibadah mulia. Mengeroyok atau merendahkan seseorang hanya karena pekerjaannya adalah bentuk kesombongan. Tidak ada pekerjaan halal yang hina, dan tidak ada alasan yang membenarkan tindak main hakim sendiri. Yang harus kita lawan justru mental meremehkan orang lain, apalagi sampai memicu kekerasan. Masyarakat perlu diingatkan kembali bahwa kehormatan seseorang bukan ditent...

Menjembatani Kesenjangan Generasi di Kantor Pemerintahan

Masuknya generasi Z sebagai aparatur sipil negara di instansi pemerintahan membawa dinamika baru yang tak bisa dihindari. Mereka datang dengan semangat tinggi, kemampuan adaptasi digital yang mumpuni, serta harapan terhadap sistem kerja yang lebih adil dan terbuka. Namun di balik semangat itu, muncul pula gesekan yang bisa menimbulkan kecanggungan antarpegawai lintas generasi. Salah satu isu yang kerap muncul adalah perasaan ketimpangan antara pegawai muda dan senior dalam hal beban kerja dan penghasilan. Banyak pegawai muda merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan jauh lebih menyita waktu dan energi dibandingkan rekan-rekan senior mereka, tetapi penghasilan yang diterima justru jauh lebih rendah. Akibatnya, muncul kecemburuan yang menggerus rasa hormat, melemahkan kerja sama, dan mengganggu iklim kerja di kantor. Padahal, jika ditilik lebih dalam, perbedaan itu tidak selalu mencerminkan ketidakadilan. Sistem penggajian di pemerintahan bersifat struktural dan berbasis pada masa ker...

Rasa Aman, Privilege, dan Ancaman Fragmentasi Kepercayaan Sosial

Kebutuhan akan rasa aman, sebagaimana diungkapkan Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan dasar, adalah fondasi penting dalam kehidupan manusia. Tanpa rasa aman, manusia akan sulit bergerak ke kebutuhan lain seperti relasi sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Namun, rasa aman itu kini tengah diuji. Demo yang berujung anarkis dan penjarahan beberapa waktu lalu menimbulkan luka kolektif. Tidak hanya kerugian materiil dan trauma bagi korban langsung, tetapi juga rasa waswas di kalangan masyarakat luas. Sebab dalam benak banyak orang muncul pertanyaan sederhana: hari ini toko orang lain yang dijarah, apakah besok giliran rumah saya? Kekhawatiran semacam ini tidak hanya memudarkan rasa tenang, tetapi juga mengikis kepercayaan sosial. Hal yang menimbulkan ironi lebih jauh adalah ketika pejabat negara—yang seharusnya memiliki lapisan keamanan lebih kuat karena akses terhadap aparat—ikut menjadi korban penjarahan. Kondisi ini terasa aneh dan sekaligus menimbulkan pertanyaan besa...

Antara Ampunan dan Karma

Dalam ajaran Islam, dosa sebesar apa pun akan diampuni oleh Allah, selama hamba-Nya benar-benar bertaubat. Inilah letak keagungan rahmat Allah, yang tidak pernah menutup pintu kembali bagi manusia. Namun, sayangnya justru di sinilah letak persoalan: banyak orang salah paham, lalu merasa ringan berbuat dosa karena beranggapan “toh nanti Allah Maha Pengampun.” Padahal, ampunan itu bukan tanpa syarat. Taubat yang sesungguhnya menuntut penyesalan, perbaikan diri, dan pengembalian hak jika menyangkut orang lain. Tanpa itu, pengampunan hanyalah angan-angan. Berbeda dengan konsep karma yang dikenal dalam ajaran lain, setiap perbuatan buruk pasti berbalik pada diri pelakunya, cepat atau lambat. Konsep ini menimbulkan rasa hati-hati, karena orang sadar bahwa kejahatan sekecil apa pun akan ada akibatnya. Dalam Islam pun sebenarnya ada prinsip serupa: siapa berbuat baik, kebaikan itu untuk dirinya; siapa berbuat buruk, keburukan itu kembali kepadanya. Bedanya, Islam menambahkan pintu rahmat dan ...

Antara Anarkis, Dunia Maya, dan Jariyah Digital

Saat ini dunia usaha nyata tengah menghadapi banyak kendala. Bukan hanya tekanan ekonomi global, tetapi juga situasi sosial dalam negeri yang kadang memanas. Demo yang berujung anarkis, misalnya, jelas menimbulkan dampak luas: roda usaha terganggu, pelaku bisnis terpaksa menutup pintu, dan para pekerja kehilangan nafkah. Dunia ril menjadi rapuh, mudah terguncang oleh gejolak di jalanan. Sebaliknya, dunia maya justru terus tumbuh. Platform seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok semakin merajai ruang publik. Orang-orang kini lebih sering “berjualan gagasan” lewat kata-kata, gambar, dan video. Namun, di balik pertumbuhan ini, ada sisi lain yang mengkhawatirkan: banyak yang hanya mengumbar ujaran tanpa verifikasi, dengan alasan “nanti toh bisa diklarifikasi.” Inilah wajah baru yang bisa disebut sebagai jariyah digital . Dalam Islam, dikenal istilah amal jariyah—kebaikan yang terus mengalir pahalanya meski pelakunya sudah tiada. Namun, di era digital, amal jariyah itu bisa bermuk...

Belajar dari Sejarah, Mengapa Kita Bisa Dijajah Begitu Lama

Sejarah mencatat, Indonesia dijajah Belanda selama lebih dari 300 tahun. Angka ini sering membuat kita bertanya-tanya: bagaimana mungkin sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar, waktu itu dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki pasukan kuat, bisa dikuasai begitu lama oleh bangsa asing yang jumlahnya jauh lebih sedikit? Jawaban itu tidak lain karena kelemahan dari dalam diri bangsa kita sendiri. Bukan karena kita tidak berani, melainkan karena kita mudah terprovokasi, gampang dipecah belah, dan lebih mengedepankan ego masing-masing daripada persatuan. Belanda berhasil memainkan politik devide et impera , memanfaatkan konflik internal antar-kerajaan, antar-pemimpin, bahkan antar-saudara sebangsa, hingga akhirnya kita tidak pernah benar-benar bersatu melawan penjajahan. Refleksi ini kembali terasa relevan ketika melihat kondisi bangsa hari ini. Demo yang semestinya menjadi sarana menyuarakan aspirasi, sering berubah menjadi kerusuhan karena provokasi dan kepentingan tertentu. Lag...

Ketika Influencer Bungkam dan Demo Menelan Korban

Fenomena influencer hari ini semakin gamblang: yang diangkat hanyalah isu yang menguntungkan dirinya. Selama bisa fyp , menambah followers , meningkatkan likes dan jumlah tayangan, maka isu itu akan jadi konten. Namun, jika tidak ada nilai jual, meski menyangkut nyawa manusia, akan dibiarkan sunyi.  Inilah wajah baru dunia maya: kepedulian diukur dengan algoritma, bukan dengan nurani. Demo belakangan di Makassar yang menelan korban nyawa, nyaris tak terdengar gaungnya. Mengapa? Karena korban bukan ojol, bukan pula polisi yang bisa “dijadikan bahan dramatisasi.” Tragisnya, yang muncul justru komentar kejam: “kenapa juga malam masih kerja?” Naudzubillah.  Demo memang hak rakyat, tapi harus dijalankan dengan tertib dan damai. Begitu berubah menjadi anarkis dan menimbulkan korban, maka pelakunya harus bertanggung jawab. Nyawa yang hilang bukan sekadar angka. Itu adalah manusia dengan keluarga, dengan harapan, dengan masa depan. Dan hukum kehidupan berlaku: apa pun keburukan ya...

Mengambil yang Bukan Haknya

Mengambil yang bukan miliknya, sejatinya adalah perbuatan tercela. Sejak kecil, orang tua selalu menanamkan nilai bahwa kejujuran lebih berharga daripada harta. Tidak ada keluarga yang dengan sengaja mengajarkan keburukan. Justru setiap orang tua berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang lurus, menjaga kehormatan dirinya, dan menghargai hak orang lain. Namun, dalam kenyataannya masih saja ada orang yang tergoda untuk merampas, mencuri, atau menguasai sesuatu yang bukan haknya. Perbuatan seperti ini tidak hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meninggalkan luka sosial bagi masyarakat. Karena itu, siapa pun pelakunya, pantas dihukum sesuai aturan. Hukum hadir bukan semata untuk memberi efek jera, melainkan juga untuk menegakkan keadilan dan melindungi mereka yang haknya dirampas. Bagi yang percaya pada hukum sebab-akibat, mengambil yang bukan haknya tidak akan pernah membawa berkah. Cepat atau lambat, karma akan kembali. Mungkin bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada kelua...

Dampak Negatif Demo Anarkis bagi Dunia Usaha

Demo anarkis tidak hanya merusak fasilitas umum, tetapi juga meninggalkan efek panjang bagi dunia usaha. Banyak pelaku usaha terpaksa menutup sementara bahkan gulung tikar karena kerusakan maupun turunnya omset. Akibatnya, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) pun meningkat, yang justru merugikan para pekerja sendiri. Lebih jauh, iklim investasi menjadi terganggu. Investor akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal di negara yang dianggap tidak stabil. Pada akhirnya, masyarakat luas yang menanggung akibatnya—kesempatan kerja berkurang, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan daya saing bangsa ikut menurun. Aspirasi tentu sah disuarakan, tapi jika jalannya dengan cara anarkis, justru menciptakan masalah baru yang lebih merugikan daripada menyelesaikan persoalan.

Demo Anarkis, Pekerja Harian yang Paling Merugi

Bagi pekerja yang dibayar sesuai output atau jumlah pekerjaan, libur sehari saja sudah berarti kehilangan pendapatan. Ketika demo anarkis memaksa dunia usaha menutup kegiatan—bahkan entah sampai kapan—dampaknya jauh lebih berat. Mereka tidak bisa bekerja, tidak bisa menghasilkan, dan otomatis tidak bisa membawa pulang upah. Sedangkan kebutuhan rumah tangga tetap berjalan, lalu bagaimana cara untuk memenuhi kalau semua tutup.  Di sinilah letak ironi demo anarkis. Aspirasi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menambah beban rakyat kecil. Pedagang kecil, pekerja harian, karyawan kontrak, semuanya ikut terjebak dalam lingkar kerugian. Karena itu, menyampaikan aspirasi harus tetap dalam koridor damai. Dengan begitu, suara tetap didengar, sementara roda usaha dan kehidupan para pekerja tidak ikut terhenti.

Surat Pernyataan Demo Agar Tertib dan Damai

Demonstrasi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Namun, kebebasan tersebut seharusnya tetap dijalankan dengan tertib dan damai. Sayangnya, tidak jarang aksi demo berujung pada kerusakan fasilitas umum bahkan kerugian materiil bagi masyarakat. Inilah yang seharusnya tidak ditolerir, karena tujuan menyampaikan aspirasi mestinya tidak merugikan orang lain. Sebagai bentuk tanggung jawab, ada baiknya setiap penyelenggara demo diwajibkan membuat surat pernyataan sebelum aksi berlangsung . Surat tersebut berisi kesanggupan untuk menanggung segala kerusakan dan kerugian yang terjadi sepanjang aksi, jika ternyata timbul akibat perbuatan massa. Dengan demikian, hak menyampaikan pendapat tetap terlindungi, sementara ketertiban dan kepentingan umum juga terjaga.

Bahaya Demo Anarkis bagi Dunia Usaha dan Masyarakat

Demonstrasi adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Selama dilakukan dengan tertib dan damai, demo merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang harus dihormati. Namun persoalannya menjadi berbeda ketika demo berubah menjadi anarkis—merusak fasilitas umum, menutup akses jalan, hingga mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, bahkan sampai menjarah.  Dunia usaha adalah salah satu pihak yang paling terdampak. Ketika jalur distribusi terhambat, toko dan kantor harus tutup, atau fasilitas rusak akibat massa yang tidak terkendali, maka roda ekonomi pun terganggu. Penjarahan menjadi momok yang paling menakutkan dunia usaha. Banyak pelaku usaha kecil maupun besar merugi, bahkan tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar. Ujungnya, pekerja menjadi korban dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampak jangka panjangnya lebih serius lagi. Investor, baik dalam negeri maupun luar negeri, akan ragu menanamkan modal di tempat yang dianggap tidak stabil. ...

Layanan SIM Keliling Kota Bogor

Gambar
Menurut saya, keberadaan layanan mobil SIM keliling di Kota Bogor merupakan terobosan yang sangat membantu masyarakat. Dengan jadwal yang tersedia setiap hari, mulai hari Senin hingga hari Minggu, pukul 07.00–10.00 pagi, warga masyarakat jadi memiliki lebih banyak pilihan waktu untuk memperpanjang SIM tanpa harus datang langsung ke Satpas. Apalagi lokasi mobil keliling ditempatkan di titik-titik strategis, membuat aksesnya lebih mudah dijangkau. Dari sisi biaya, tarif perpanjangan SIM C sebesar Rp280 ribu dan SIM A Rp285 ribu, pelaksanaan dimulai dengan pendaftaran, mengisi soal psikologi, tes kesehatan dan lanjut foto. Prosesnya resmi dan transparan. Ohiya, jangan lupa membawa foto coli KTP, 2 lembar dan SIM asli yang akan diperpanjang. Ke depan akan lebih baik jika masyarakat terus diberikan edukasi tentang rincian komponen biaya oleh satpas, agar tidak ada kesalahpahaman mengenai biayanya.  Secara keseluruhan, layanan ini memperlihatkan komitmen kepolisian dalam meningkatkan ...

Perang Kognitifi dan Hancurnya Suatu Bangsa

P erang kognitif dan dominasi teknologi informasi bisa dibilang sebagai cara paling mudah dan murah untuk menghancurkan suatu bangsa —tanpa harus mengirim tentara atau menembakkan peluru. Ada beberapa alasan yang mendasarinya : 1. Menghancurkan dari Dalam, Bukan dari Luar Jika perang fisik menyerang pertahanan luar, perang kognitif menyerang pikiran, persatuan, dan kepercayaan masyarakat . Bangsa yang pecah dari dalam jauh lebih mudah dikendalikan atau dilemahkan. 2. Biaya Murah, Efek Besar Dengan hanya modal jaringan, bot, narasi, atau hoaks, sebuah pihak bisa: Membuat masyarakat saling curiga, Menurunkan kepercayaan pada pemerintah, Melemahkan semangat kebangsaan dan identitas nasional. 3. Sulit Dideteksi dan Dilawan Musuh tidak selalu terlihat. Serangannya lewat narasi, meme, video, atau influencer anonim. Jika rakyat tidak sadar sedang diserang, mereka malah jadi alat penghancur bangsanya sendiri. 4. Mengacaukan Stabilitas Politik dan Ekonomi Narasi yang sengaja digir...

Etika Bermedia Sosial

Isu penting tentang etika bermedia sosial dan tanggung jawab publik terhadap ujaran kebencian atau penghinaan. Ketika seseorang diberi panggung (misalnya, dengan menyebarluaskan unggahan mereka, mengomentari, atau memberi respons emosional), dan kontennya bersifat menghina atau merendahkan individu lain, maka secara tidak langsung kita ikut memberi validasi dan amplifikasi terhadap perilaku itu. Hal ini bisa memperkuat narasi bahwa penghinaan itu wajar atau bahkan layak dibenarkan, apalagi jika banyak orang ikut bersorak. Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: Platform adalah panggung: Media sosial memberi kekuatan kepada siapa pun untuk berbicara. Tapi kita juga punya kendali untuk memilih siapa yang layak didengar. Popularitas ≠ Kebenaran: Hanya karena banyak orang setuju atau menonton, bukan berarti hal itu benar atau layak. Konsekuensi sosial penting: Jika seseorang terus diberikan panggung meskipun menyebar ujaran kebencian atau penghinaan pe...

Analogi Jejak Digital

Jejak digital—apa yang kita lakukan di internet, seperti apa yang kita klik, tulis, unggah, atau bagikan—ibarat "kesaksian" dari tindakan kita, yang terekam dan bisa diketahui orang lain bahkan tanpa kita sadari. Ini sangat mirip dengan konsep spiritual atau religius yang menyatakan bahwa di akhirat nanti, bukan mulut yang berbicara, tetapi tangan, kaki, dan anggota tubuh lain yang akan menjadi saksi atas perbuatan kita (misalnya dalam ajaran Islam, ini disebutkan dalam Surah Yasin ayat 65). Kesamaan yang bisa diambil antara keduanya: Tindakan berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Jejak digital mencerminkan tindakan nyata kita, seperti tubuh yang menjadi saksi kelak. Tidak bisa disangkal. Seperti anggota tubuh yang tidak bisa berbohong, jejak digital pun sulit dihapus dan bisa menjadi bukti kuat atas perilaku kita. Tersimpan dan akan ‘dibuka’ kembali. Sama seperti catatan amal di akhirat, data digital juga bisa dibuka kapan saja oleh pihak lain, seperti pen...

Perang Kognitif dan Runtuhnya Fondasi Sosial Suatu Bangsa

Perang kognitif bukan hanya menyerang militer atau ekonomi, tapi langsung menyasar ke urat nadi sebuah bangsa: kesatuan dan kesadaran kolektif masyarakatnya. Dalam perang ini, senjatanya adalah hoaks, framing, dan opini yang dimanipulasi. Sasaran utamanya adalah pikiran dan emosi rakyat. Ketika sebuah bangsa terseret dalam perang kognitif, masyarakat menjadi mudah tersulut, saling mencurigai, dan saling menghujat. Perbedaan pendapat dibenturkan seolah kebenaran hanya milik satu pihak. Polarisasi terjadi bukan karena alasan ideologis murni, tetapi karena narasi yang sengaja diadu. Akibatnya, rasa persaudaraan melemah, rasa saling percaya hilang, dan yang tersisa hanyalah keributan tanpa arah. Inilah dampak paling berbahaya dari perang kognitif: rakyat dijadikan musuh satu sama lain tanpa sadar sedang dijadikan alat oleh kekuatan luar atau elit tertentu. Negara bisa runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena tercerai-berai dari dalam. Bangsa yang kuat bukan hanya punya senjata...

Jangan Beri Panggung bagi Penghinaan

Di era media sosial, setiap orang memiliki mikrofon dan panggungnya sendiri. Namun, tak semua yang berbicara layak untuk didengar. Terutama ketika seseorang dengan sengaja menggunakan ruang publik digital untuk menghina pribadi lain—entah atas dasar ketidaksukaan, dendam, atau sekadar mencari sensasi. Masalahnya tak berhenti pada si pelaku penghinaan. Ketika unggahan bernada hinaan itu mendapat perhatian luas, disaksikan ribuan bahkan jutaan orang, sesuatu yang seharusnya dianggap buruk justru mendapat tempat. Lebih parah lagi, ia menjadi pembenaran massal. Penghinaan yang awalnya bersifat personal kini berubah menjadi tontonan dan konsumsi publik. Banyak yang lupa: diam atau tertawa dalam kasus seperti ini juga bentuk persetujuan yang diam-diam. Inilah saatnya kita bertanya: apakah orang yang mengandalkan hinaan sebagai konten pantas terus diberi panggung? Memberinya ruang sama saja dengan mengabadikan budaya kekerasan verbal, menyuburkan perundungan, dan menormalisasi kebencian. M...

ilmu padi: semakin berisi, semakin merunduk

Dalam peribahasa "ilmu padi: semakin berisi, semakin merunduk" yang menggambarkan bahwa semakin seseorang berilmu, seharusnya semakin rendah hati. Penambahan narasi tentang gabah diambil, dipotong, namun padi tidak protes dan malah tumbuh kembali memberi makna tambahan: bahwa orang bijak tidak hanya rendah hati, tapi juga tabah dan resilien menghadapi cobaan. Padi yang tetap bertunas setelah "dilukai" bisa dianalogikan dengan manusia berilmu yang tidak mudah tumbang oleh penderitaan, kritik, atau kehilangan. Ia justru akan bangkit dan memberi manfaat lagi. Ini adalah bentuk keteladanan dalam menghadapi hidup dengan penuh kerendahan hati dan kekuatan batin.

Warisan Tak Sekadar Soal Tanah, Tapi Tentang Rasa dan Kebersamaan

Sebagai orang tua dari empat anak, saya dan istri pernah merasa telah menjalankan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah ketika kami membagi beberapa bidang tanah yang kami miliki kepada anak-anak. Harapannya sederhana: supaya semua kebagian, supaya tidak jadi persoalan di kemudian hari. Nilainya sudah kami ukur, luasnya pun kami hitung agar setara. Kami pikir, kami sudah bersikap adil. Namun, kehidupan sering memberi pelajaran lewat hal-hal yang tak terduga. Salah satu anak kami berkata, “Pak, tanah yang itu lebih dekat ke tanah saya sekarang. Kenapa malah dikasih ke kakak? Kalau dari sisi kakak malah jauh.” Saya terdiam. Mungkin secara ukuran dan nilai, pembagian itu adil. Tapi ternyata, adil di mata orang tua belum tentu terasa adil di mata anak-anak. Ada hal-hal lain yang kami lewatkan: kedekatan letak, kebutuhan masing-masing, bahkan rasa keterikatan emosional pada lokasi tertentu. Yang membuat saya bersyukur adalah, anak-anak kami tidak langsung bertengkar...

Ketertiban Berkendara: Ketika Rasa Peduli Hilang di Jalan Raya

Fenomena ketidaktertiban berkendara semakin hari semakin mengkhawatirkan. Di berbagai kota, kita sering menyaksikan pengendara yang tidak lagi menghormati aturan lalu lintas maupun hak pengguna jalan lainnya. Banyak yang mengambil lajur orang lain, bahkan tidak segan menerobos jalur lawan arah demi menghindari antrean di lampu merah. Semua dilakukan demi kepentingan pribadi, tanpa memikirkan dampak terhadap orang lain. Ketika lampu lalu lintas menyala merah, seharusnya pengendara berhenti dan menunggu dengan tertib di jalurnya masing-masing. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: pengendara motor dan mobil berlomba-lomba mencari celah, bahkan sampai menutup jalur dari arah berlawanan. Akibatnya, kendaraan dari arah yang benar pun terhalang, menciptakan kekacauan dan kemacetan yang lebih parah. Bunyi klakson yang bersahut-sahutan menjadi pemandangan dan suara yang lumrah di jalanan. Bukan sebagai tanda peringatan yang sopan, melainkan sebagai ekspresi ketidaksabaran dan tekanan emosi....

Belajar Mandiri dari Seorang Mahasiswa di Negeri Orang

Tahun 2025 menjadi tahun yang istimewa bagi saya. Anak kedua yang sedang menempuh tahun kedua kuliah di Tiongkok tiba-tiba meminta agar uang bulanan dari rumah dihentikan. Alasannya sederhana, tetapi sarat makna: uang saku dari universitas sudah cukup, dan ia juga memiliki penghasilan sendiri. Usaha yang dirintis sejak SMA. Disamping melakoni pekerjaan jastip ketika liburan tiba.  Bagi banyak orang tua, terutama yang anaknya kuliah di luar negeri, memberi dukungan finansial setiap bulan adalah hal lumrah. Namun, di balik kebiasaan itu, sering kali kita lupa bahwa anak juga perlu ruang untuk belajar mandiri. Keputusan anak saya ini mengingatkan bahwa kemandirian tidak datang tiba-tiba; ia adalah hasil dari pendidikan nilai, latihan disiplin, dan dorongan untuk berani mengelola hidupnya sendiri. Fenomena seperti ini seharusnya menjadi inspirasi, bukan hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi orang tua dan lembaga pendidikan. Orang tua perlu percaya bahwa anak mampu mengatur dirinya, ...

Demokrasi atau Kebebasan Berpendapat

Demokrasi memang memberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat, termasuk kritik terhadap pemerintah atau kebijakan publik. Tapi kebebasan itu bukan tanpa batas. Ia berhenti ketika mulai melanggar hak dan martabat orang lain. Sering kali, orang yang melakukan penghinaan atau ujaran kebencian berlindung di balik dalih "kritik". Padahal, kritik yang sehat itu berbasis argumen, fakta, dan bertujuan membangun. Menghina orang secara pribadi, merendahkan keluarganya, atau menyerang karakter secara tidak berdasar adalah bentuk kekerasan verbal, bukan kritik. Dalam konteks akademik maupun digital, banyak yang menyalahgunakan konsep "kebebasan berekspresi" untuk menyebarkan meme atau konten yang sebenarnya sudah melanggar norma, etika, kesopanan, bahkan kesusilaan. Mereka berlindung di balik dalih kritik sosial, satir, atau "kebebasan akademik", padahal substansinya tidak lagi mendidik atau membangun, melainkan justru merendahkan dan mencemarkan nama baik o...

Berharap Sukses Seperti Orang Sukses

Banyak buku biografi atau kisah sukses memang berisi perjalanan hidup, kiat, dan langkah-langkah spesifik yang diambil seseorang menuju kesuksesan. Tapi meniru persis langkah-langkah itu tidak menjamin kita akan mendapatkan hasil yang sama, karena ada banyak faktor yang ikut menentukan kesuksesan seseorang, misalnya: Konteks dan zaman : Kondisi ekonomi, teknologi, dan budaya saat mereka sukses mungkin berbeda jauh dengan kondisi kita sekarang. Lingkungan dan jaringan : Seringkali, relasi, mentor, atau peluang yang muncul karena faktor eksternal sangat berperan dalam perjalanan mereka. Bakat dan kepribadian : Setiap orang punya keunggulan unik—keterampilan, karakter, gaya berpikir—yang tidak bisa sepenuhnya ditiru. Keberuntungan : Banyak orang sukses sendiri mengakui bahwa faktor keberuntungan berperan besar, meskipun sulit diulang oleh orang lain. Namun, belajar dari kisah sukses tetap berguna . Kita bisa: Memahami pola pikir dan sikap yang membantu mereka bertahan da...

Fenomena Pecahan Harga

Fenomena ini sebenarnya mencerminkan perbedaan sistem dan pendekatan antara warung tradisional dan gerai modern seperti minimarket atau supermarket.  Berikut beberapa alasan dan penjelasannya: 1. Pecahan Harga di Warung Tradisional Pragmatisme : Warung cenderung membulatkan harga ke nominal pecahan besar (500 atau 1.000 rupiah) karena keterbatasan uang kembalian dan untuk mempermudah transaksi tunai. Efisiensi waktu dan tenaga : Membulatkan harga menghindari repotnya mencari kembalian receh. Fleksibilitas Sosial : Warung sering mengandalkan kepercayaan dan hubungan sosial, jadi pembulatan harga dianggap wajar dan dimaklumi kedua belah pihak. 2. Pecahan Harga di Minimarket/Supermarket Strategi Psikologis Harga : Harga seperti Rp 9.900 atau Rp 12.450 dipakai untuk memberi kesan harga lebih murah, meski selisihnya sedikit. Sistem Terotomatisasi : Kasir menggunakan sistem digital yang menghitung harga sampai satuan terkecil. Namun, ini bisa jadi rumit jika pembeli membayar tu...

Bayangkan Dunia Tanpa Sekat: Renungan dari Nilai Kemanusiaan

Belum lama mendengarkan kembali lagu Imagine yang ditulis oleh John Lennon pada tahun 1971, kalau tidak salah kutip. Liriknya sangat menarik, seolah memberikan mimpi kepada setiap manusia. Mengajak kita merenung lebih dalam tentang arah dunia hari ini. Peperangan yang terus terjadi atas negara. Konflik antara wilayah karena agama, siku dan ras. Semua berpulang karena kekuasaan.  Lagu itu bukan sekadar rangkaian nada dan lirik indah; ia adalah undangan untuk membayangkan dunia tanpa batas-batas artifisial—tanpa negara, tanpa agama, tanpa kepemilikan yang menjadi alasan manusia saling membunuh. Pada zamannya, lagu ini menuai kontroversi, bahkan dianggap utopis. Namun kini, lebih dari setengah abad kemudian, pesan lagu itu terasa sangat relevan. Dunia kita masih terpecah oleh bendera simbol negara, kepercayaan/agama, suku, ras dan kekuasaan. Perang masih berkobar, nyawa masih melayang, dan kebenaran masih sering dikalahkan oleh kepentingan kelompok. Ironisnya, banyak dari kekerasan...

Merantau di Usia Matang: Sebuah Refleksi tentang Perubahan, Kesempatan, dan Keberkahan

Tidak semua orang mengalami pengalaman pertama di usia muda. Bagi sebagian orang, justru “pertama kalinya” datang setelah melewati seperempat abad masa kerja, di usia menjelang lima puluh tahun—ketika hidup terasa sudah stabil, ritmenya bisa ditebak, dan kenyamanan telah menjadi kebiasaan. Namun mutasi pekerjaan kali ini mengubah banyak hal. Bukan sekadar berpindah tempat kerja, tapi juga berpindah cara hidup. Untuk pertama kalinya, saya harus ngekos. Setelah sekian lama menjalani hidup dari rumah—kuliah dari rumah, menikah dan membesarkan anak di rumah sendiri, bekerja dari kota ke kota namun selalu kembali ke pelukan keluarga—kini saya belajar hidup mandiri di luar zona nyaman. Cianjur menjadi ladang baru. Kota yang dulu hanya dilewati kini harus dipelajari, dipahami, dan dimaknai sebagai tempat beraktivitas, membangun koneksi, serta menjemput rezeki. Banyak yang mungkin menganggap merantau adalah hal biasa. Tapi bagi sebagian lainnya, terutama yang terbiasa hidup dalam kehangatan...

Selat Hormuz Tak Lagi Strategis? Jalur Sutra Modern Iran–China Mengubah Peta Geopolitik

Selama puluhan tahun, Selat Hormuz menjadi urat nadi ekonomi global. Sekitar 20% dari perdagangan minyak dunia melewati jalur sempit ini. Tak heran jika Amerika Serikat menempatkan kekuatan militernya secara intensif di kawasan tersebut. Bukan hanya untuk menjamin kelancaran energi global, tetapi juga sebagai bagian dari strategi tekanan terhadap negara-negara seperti Iran. Namun, peran strategis Selat Hormuz tampaknya mulai tergeser. Iran, yang selama ini menjadi target sanksi ekonomi dan embargo Barat, kini membuka jalur baru yang dapat mengubah keseimbangan kekuatan: kereta api langsung ke China . Jalur darat ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan bagian dari transformasi geopolitik global yang lebih besar — sebuah Jalur Sutra era modern. Jalur Darat Iran–China: Alternatif dari Laut Jalur kereta api ini melewati sejumlah negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Kyrgystan, Turkmenistan, dan Uzbekistan, lalu menghubungkan Iran dengan China. Selain mempercepat waktu pengirim...

Jangan lupa Tinggikan Adabmu

Belum ada lama, ada cacian yang sangat menghinakan di media sosial berkenaan dengan hubungan sesama. Entah mengapa cacian ini di upload di media sosial. Banyak pihak yang melihat, mendengar. Boleh benci, sewajarnya dan boleh mencintai atau menyukai sewajarnya saja. Kadang jadi berpikir apakah tidak pernah diajarkan adab dalam berbicara. Agama dan kepercayaan apapun mengajarkan itu kepada setiap umatnya.  Kepada anak-anak kita, jangan lupa untuk mengingatkan mereka agar tidak terlalu meninggikan asal-usulnya, baik suku, agama, ras dan apapun itu. Saya katakan, “Kamu bisa saja lahir di tempat yang mulia atau sederhana, tapi kelak kamu akan melalang buana ke berbagai penjuru negeri. Dan di sanalah, asalmu tidak lagi menjadi penentu, melainkan bagaimana kamu bersikap dan membawa diri.” Kita tidak pernah bisa memilih lahir dari rahim siapa, dalam keluarga seperti apa, di daerah mana dan dalam agama apa. Namun kita bisa memilih menjadi manusia seperti apa. Dunia hari ini membutuhkan leb...

Skema Ponzi dalam Kedok Koperasi — Antara Literasi dan Janji Palsu

Skema Ponzi dalam balutan koperasi bukan hal baru, dan ironisnya, terus terulang. Setiap kali satu kasus mencuat ke permukaan—dana anggota digelapkan, pengurus kabur, atau koperasi dibekukan—masyarakat seolah terkejut, tapi tak lama kemudian muncul koperasi baru dengan tawaran menggiurkan yang sama. Lingkaran ini terus berputar. Yang terbaru kasus sebuah koperasi dari magelang. Mirip dengan kejadian yang dari Salatiga.  Mengapa bisa berulang? Ada tiga faktor utama. Pertama, literasi keuangan masyarakat masih rendah . Banyak anggota koperasi bahkan tidak tahu cara membaca laporan keuangan atau memahami rasio kewajaran imbal hasil. Yang mereka tahu hanyalah: “Kalau saya setor sekian, saya akan dapat lebih banyak dalam waktu cepat.” Di sinilah jebakan dimulai—janji imbalan besar menjadi umpan manis bagi banyak orang. Kedua, pengawasan pemerintah seringkali lemah dan reaktif , bukan preventif. Ketika kasus besar mencuat, barulah tindakan diambil. Tapi sebelumnya? Koperasi-koperasi se...

Timur Tengah: Rumah Umat yang Terpecah oleh Kepentingan dan Warisan Luka

Timur Tengah adalah tanah kelahiran para nabi, pusat sejarah Islam, dan rumah bagi Ka'bah serta Masjidil Aqsa. Negara asal agama-agama samawi. Namun ironisnya, ia juga menjadi wilayah dengan tingkat konflik dan perpecahan tertinggi di antara negara-negara Islam dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan lainnya.  Mulai dari perang saudara, invasi, kudeta, hingga proxy war antar sekutu asing — Timur Tengah telah berubah dari simbol kejayaan Islam menjadi medan perseteruan tanpa akhir. Warisan Perpecahan: Dari Kekhalifahan ke Negara-Negara Lemah Setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pasca Perang Dunia I, wilayah Timur Tengah dipetak-petakkan oleh kekuatan kolonial Barat: Perjanjian Sykes-Picot membagi tanah Arab menjadi zona kekuasaan Prancis dan Inggris. Negara-negara baru lahir — Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, dan lainnya — bukan berdasarkan ikatan agama atau sejarah bersama , tapi berdasarkan kepentingan geopolitik kolonial. Inilah akar dari banyak krisis yang muncul ...

Audit Pihak Ketiga Pada Koperasi, Sebuah Wacana

Audit oleh pihak ketiga yang kompeten adalah salah satu langkah krusial untuk mengatasi masalah koperasi, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas. Berikut penjelasannya: Mengapa Audit Pihak Ketiga Penting: Objektivitas dan Independensi Auditor eksternal tidak terlibat dalam operasional koperasi, sehingga hasil auditnya lebih objektif dan tidak bias. Mengungkap Masalah Keuangan Audit dapat mengidentifikasi penyimpangan penggunaan dana, potensi fraud, hingga ketidaksesuaian dalam pencatatan keuangan. Meningkatkan Kepercayaan Anggota Laporan audit yang independen memberikan rasa aman bagi anggota koperasi atas pengelolaan dana mereka. Memenuhi Persyaratan Regulasi Beberapa koperasi diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan untuk diaudit secara berkala. Sebagai Dasar Pengambilan Keputusan Hasil audit menjadi dasar untuk perbaikan manajemen, perencanaan keuangan, dan evaluasi kinerja pengurus. Kriteria Pihak Ketiga yang Kompeten: Terdaftar dan memiliki i...

Ilmu Padi: Rendah Hati dan Ketangguhan yang Diam

Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk, sering kali kita terjebak dalam gemerlap pencapaian dan gelar. Namun, ada satu filosofi sederhana dari alam yang mengajarkan kebijaksanaan luar biasa: ilmu padi. “Semakin berisi, semakin merunduk.” Begitulah ungkapan yang kita warisi dari generasi ke generasi. Padi yang matang dan kaya isi justru membungkuk, tidak menengadah angkuh ke langit. Namun, filosofi ini tidak berhenti pada sikap rendah hati. Ada pelajaran kedua yang lebih dalam—padi yang merunduk itu pada akhirnya dipotong, gabahnya diambil, batangnya ditinggal. Ia tidak menjerit, tidak memberontak, tidak mempertanyakan nasibnya. Ia hanya mencoba satu hal: bertahan hidup dan bertunas kembali. Dalam diamnya, ia menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Manusia yang berilmu, layaknya padi, seharusnya tidak hanya rendah hati, tetapi juga kuat menghadapi ujian hidup. Ia tidak mencari pengakuan dengan suara lantang, tetapi membuktikan nilainya melalui ketekunan dan manfaat yang ia berikan. Ketik...

Agar Tak Lagi Tertipu Janji Manis Berkedok Koperasi

Setiap kali kita membaca berita tentang koperasi simpan pinjam yang gagal bayar, pola ceritanya nyaris sama: iming-iming bunga tinggi, janji aman, dan akhirnya dana lenyap tak tentu arah. Ironisnya, meski pola penipuannya sudah begitu sering terjadi, tetap saja ada korban-korban baru. Maka pertanyaannya: kenapa masyarakat masih mudah tertipu? Dan bagaimana agar hal ini tak terus berulang? Jawabannya tidak sederhana. Namun satu hal yang pasti, selama masyarakat tidak memiliki daya kritis terhadap janji manis, skema tipu-tipu akan terus subur. Dalam banyak kasus, orang bukan hanya tertipu karena tidak tahu, tapi juga karena terlalu ingin cepat untung. Kita perlu secara serius membangun budaya melek finansial . Literasi keuangan tidak cukup diajarkan sebagai teori, tapi harus menjadi kebiasaan hidup. Masyarakat harus terbiasa mempertanyakan: "Dari mana asal keuntungan besar itu? Apakah usahanya jelas? Apakah ada izin resmi? Siapa yang mengawasi?" Sayangnya, masih banyak yang...

Koperasi Gagal Bayar—Sandiwara yang Terus Diulang

Seolah menjadi pola yang tak pernah putus, koperasi simpan pinjam yang gagal bayar terus bermunculan. Hari ini di Boyolali, besok di Magelang, lusa mungkin di kota lain.  Laporan demi laporan mengabarkan hal serupa: uang simpanan tak bisa dicairkan, pengurus menghilang, dan anggota hanya bisa menunggu tanpa kepastian. Pertanyaannya: sampai kapan kita akan terus menonton sandiwara ini? Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, tapi akibat dari sistem yang lemah dan budaya yang permisif . Banyak koperasi didirikan bukan karena semangat membangun ekonomi kolektif, melainkan sebagai kendaraan mencari keuntungan pribadi. Dengan bendera koperasi yang secara hukum lebih “longgar” dibanding lembaga keuangan formal, para pengelola nakal punya ruang besar untuk menyulap modal anggota menjadi jebakan. Hal ini terjadi karena literasi anggota dan yang akan menjadi anggota kurang. Banyak pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan mengenai aturan koperasi.  Masalah makin parah karena pengawasan dar...

Mengenal Individual Development Plan (IDP)

Individual Development Plan (IDP) atau Rencana Pengembangan Individu adalah bagian penting dalam pengelolaan kinerja pegawai, terutama dalam sistem manajemen kinerja yang berbasis pada pengembangan kompetensi pegawai.Apa itu IDP dalam Pengelolaan Kinerja Pegawai? IDP adalah dokumen yang memuat rencana peningkatan kompetensi pegawai berdasarkan hasil penilaian kinerja, potensi, dan kebutuhan jabatan. IDP disusun oleh pegawai bersama atasannya setelah proses evaluasi kinerja yang dilaksanakan semesteran (bisa juga tahunan), dan menjadi bagian dari tindak lanjut untuk pengembangan karier dan peningkatan kinerja. Tujuan IDP: 1. Menjembatani gap antara kompetensi saat ini dan kompetensi yang dibutuhkan. 2. Mendukung pengembangan karier dan mobilitas jabatan 3. Meningkatkan kinerja dan profesionalisme pegawai 4. Mendorong kultur pembelajaran berkelanjutan (continuous learning) Isi Umum dari IDP: Kompetensi yang Dikembangkan Misalnya: kepemimpinan, manajerial, teknis sesuai jabatan Kesenjan...

Mendidik Anak dalam Bingkai Budaya Timur—Antara Harapan dan Kebebasan

Dalam budaya Timur, khususnya di banyak negara Asia seperti Indonesia, relasi antara orang tua dan anak sangat erat dan sarat nilai. Anak dianggap sebagai anugerah sekaligus investasi masa depan. Tak jarang, muncul anggapan bahwa keberhasilan seorang anak adalah cermin dari keberhasilan orang tua, dan sebaliknya, kegagalan anak bisa menjadi beban moral bagi keluarga. Di tengah semangat kolektivisme yang dijunjung tinggi, anak kerap dibesarkan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga, masyarakat, bahkan nama baik leluhur. Namun, ada satu hal mendasar yang sering luput dari kesadaran: bahwa tidak ada satu pun anak yang meminta untuk dilahirkan ke dunia ini. Mereka hadir karena keinginan orang tua. Maka, sudah sepatutnya orang tua tidak menanamkan beban balas jasa kepada anak. Pengorbanan dan kasih sayang yang diberikan selama proses membesarkan anak seharusnya lahir dari keikhlasan, bukan sebagai tabungan moral yang kelak harus dibayar. Dalam masyarakat kita, masih...

Suka dan Benci Secukupnya Saja

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terbawa emosi—baik saat menyukai maupun membenci sesuatu atau seseorang. Namun, saya percaya bahwa segala sesuatu yang berlebihan jarang membawa kebaikan. Menyukai secara berlebihan dapat membuat kita buta terhadap kekurangan, sedangkan membenci terlalu dalam dapat memicu dendam dan merusak hati. Prinsip "suka secukupnya, benci pun secukupnya" mengajarkan kita tentang keseimbangan emosi. Ini bukan berarti kita tidak boleh menyukai atau membenci, tetapi kita perlu menyadari batas agar tidak terjebak dalam sikap yang ekstrem. Sikap ini juga mengajarkan kedewasaan dalam bersikap—mampu mengapresiasi kebaikan, tetapi tetap kritis; mampu merasa kecewa, namun tidak larut dalam kebencian. Dalam dunia yang penuh perbedaan dan dinamika sosial yang kompleks, menjaga sikap moderat dapat membantu kita tetap rasional, bijak, dan damai dalam menjalani hidup. Maka, mencintailah dengan sadar, membencilah dengan bijak—karena hidup tidak hitam put...

Apakah Meniru Langkah Orang Sukses Akan Membuat Kita Sama Suksesnya?

Sering kali kita membaca kisah-kisah inspiratif dari orang-orang sukses. Dalam buku-buku itu, mereka membagikan langkah-langkah, kiat, bahkan pola pikir yang katanya membawa mereka ke puncak. Tidak sedikit dari kita yang mencoba meniru cara mereka—berpikir bahwa jika kita mengikuti jejak yang sama, maka hasilnya pun akan serupa. Namun menurut saya, kenyataannya tidak sesederhana itu. Meniru langkah orang sukses tidak serta-merta menjamin kita akan meraih kesuksesan yang sama. Mengapa? Karena setiap perjalanan sukses terjadi dalam konteks yang unik. Waktu, tempat, kondisi ekonomi, bahkan siapa yang mereka kenal dan kapan mereka bertemu dengan orang tertentu—semua itu merupakan variabel yang tak bisa diduplikasi. Bahkan kepribadian dan keberuntungan pun memainkan peran penting yang sering kali diabaikan. Bukan berarti belajar dari mereka sia-sia. Justru sebaliknya—kisah-kisah itu sangat berharga. Tapi bukan untuk ditiru mentah-mentah. Yang paling berharga adalah prinsip-prinsipnya : k...

Hanya Satu Kendaraan Yang Kita Gunakan

Dalam kehidupan modern, banyak dari kita terjebak dalam ilusi bahwa semakin banyak harta, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan diraih. Namun jika direnungkan dengan jernih, kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Kaya atau miskin, setiap manusia tetap hidup dalam batasan yang sama—satu tubuh, satu pikiran, dan satu waktu yang terus berjalan tanpa henti. Bayangkanlah Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia. Dengan seluruh kekayaan triliunannya, dia tetap hanya bisa duduk di satu kursi saat bepergian, tidur di satu ranjang saat malam, dan makan dari satu piring dalam sekali waktu. Begitu pula kita semua. Ada batas alami dalam kenyamanan dan konsumsi manusia yang tak bisa dilewati, seberapa pun besar kemampuan finansial kita. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi—makan, tidur, tempat tinggal—perbedaan antara si kaya dan si miskin dalam menikmati hidup tidak lagi terlalu mencolok. Yang membedakan hanyalah rasa cukup (qonaah), syukur, dan kesadaran akan batas diri. Inilah sumber...

Naik L300 dan ELF Baru Bogor–Cianjur PP: Transportasi Murah Penuh Cerita

Gambar
Akhir pekan kemarin, saya memutuskan mencoba moda transportasi yang mungkin sudah jarang dilirik oleh masyarakat urban: L300 dan ELF jurusan Bogor–Cianjur . Rasanya seperti kembali ke masa sebelum travel online dan kereta cepat mendominasi. Murah, fleksibel, dan tentu saja—penuh cerita. Berangkat dari Bogor: Pangkalan L300 Cidangiang Perjalanan saya dimulai dari pangkalan L300 di ujung Jalan Cidangiang, Bogor , tepat di dekat halte bus Trans Pakuan Cidangiang . Di lokasi ini, deretan mobil L300 berjajar menunggu penumpang. Selain jurusan Cianjur, ternyata ada juga mobil ke Sukabumi. Untuk jurusan Sukabumi, saya belum sempat mencoba, tapi nanti kalau sudah, akan saya tuliskan juga pengalamannya di sini. Saya naik L300 jurusan Cianjur sekitar pukul 08.00 pagi. Namun, karena sistemnya ngetem (nunggu penuh) , mobil baru berangkat sekitar pukul 09.30. Satu setengah jam menunggu itu rasanya seperti ujian kesabaran pertama, tapi ya... begitulah ritme transportasi lokal. Rute Menuju Cianju...

Penyesalan yang Datang Terlambat: Cerminan dari Sistem dan Kesadaran Diri

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Itu sebabnya ia disebut penyesalan. Banyak dari kita yang baru merasakannya ketika telah memasuki dunia kerja, saat beban dan tanggung jawab tidak lagi bisa dihindari, dan hidup tidak lagi bisa diselesaikan dengan menyontek PR atau sekadar menghafal rumus. Masa SD dan SMP seringkali hanya kita jalani sebagai rutinitas. Bangun pagi, pergi ke sekolah, mengerjakan PR, lalu bermain. Tujuan pendidikan saat itu belum benar-benar kita pahami. Kita belajar karena disuruh, bukan karena ingin tahu. Saat SMA, mulai muncul kesadaran diri, meskipun masih samar. Kita mulai mengenal makna persahabatan, merasakan tekanan ujian nasional, bahkan mungkin mulai membayangkan masa depan. Namun, fokus tetap terpecah — antara tugas sekolah dan kebutuhan bersosialisasi. Lalu datanglah masa kuliah. Fase ini seharusnya menjadi masa pembentukan jati diri, eksplorasi potensi, dan pembekalan menuju dunia nyata. Namun sayangnya, banyak mahasiswa — termasuk saya sendiri, sa...